Street Fighter


Suasana kelas enam riuh seperti pasar,  hiruk pikuk di saat jam pelajaran. Beginilah kondisi kalau tidak ada guru di kelas, semua sibuk dengan aktivits masing-masing, berharap rapat majelis guru berlangsung lama. Sehingga mereka bisa berbuat sesuka hati di dalam lokal tanpa pengawasan guru. Berberapa anak cowok bermain bola di bagian depan dekat papan tulis, yang lain menjadi suporter sambil memekik-mekik menyoraki jagoannya, ada beberapa anak cowok bermain gulat di bagian belakang kelas, mereka meniru aksi pegulat jagoannya yang sering mereka tonton di televisi. Anak perempuan lebih kalem, mereka tidak melakukan aktivitas agresif seperti anak lelaki, membuat satu lingkaran di sudut kelas, ngerumpi layaknya ibu-ibu, tertawa cekikikan hingga memambah hingar-bingar kelas. Aku salah satu dari mereka, sumber suara gaduh.
Keadaan lokal sebelah pun tidak berbeda, suara heboh anak-anak kelas lima itu tidak kalah dengan kami. Mereka malah berkeliaran ke luar kelas, membuat onar di kelas lain. Gerombolan cowok kelas lima adalah kelompok paling berandal di sekolah. Mereka adalah perkumpulan anak-anak yang pernah tinggal kelas, wajar saja ukuran tubuh mereka lebih besar dari anak-anak yang lain, bahkan ada yang usianya lebih tua dari kami siswa kelas enam karena sudah pernah tinggal kelas beberapa kali. Mereka sering menjajah dan menjahili anak-anak lain, termasuk kami murid kelas enam. Guru-guru sudah angkat tangan dengan kelakuan mereka, anak-anak bengal ini sudah semakin liar, tidak mempan dinasehati. Orangtua mereka sudah berkali-kali dipanggil kepala sekolah, namun tidak mengurangi kenakan mereka.  Murid  SD terbadung yang pernah ku kenal.
Iwan adalah anggota geng yang paling disegani, wajaupun badannya bukan yang paling besar namun anak-anak lain takut kepadanya. Dia seorang anak pemberani, tidak kenal rasa takut, selalu menang kalau berkelahi. Siang itu kesenangan kami agak terganggu karena kedatangan Iwan cs, mereka mengganggu anak yang sedang bermain bola. Tiba-tiba, PRANG! Suara bola membentur jam dinding mengagetkan seisi kelas. Jam dinding jatuh ke lantai, pecah berkeping terkena tendangan bola yang dilakuka olaeh Iwan. Mereka lalu kabur meninggalkan kelas, lari dari kesalahan yang diperbuat.
Rapat majelis guru selesai, wali kelas pun kembali kelas masing-masing. Ibu guru kaget mendapati serpihan jam dinding berserakan di lantai. “ Siapa yang melalukannya?” tanya bu guru. Tak seorang pun yang menjawab, tak ada yang mau mencari perkara dengan Iwan cs. Semua ketakutan, jika mereka melaporkan siapa pelakunya, sama saja bunuh diri. “Apa-apan ini, kenapa semua jadi pengecut?” gumamku dalam hati. Aku memandang ke arah anak-anak cowok, memberi isyrat agar mereka bersuara. Namun semua menggeleng, tak satupun yang mau buka mulut. Mereka malah menyuruh aku yang mengatakannya. “ Bilang aja, ntar kita sama-sama ngadepin Iwan,” ucap salah seorang temanku.
“Kalau kalian tidak mau mengatakan yang sebenarnya, Ibu akan beri hukum kalian semua,” ancaman bu guru kepada kami.  Tidak tahan atas desakan bu guru dan teman-teman, aku pun buka suara. “ Iwan Bu, dia tadi bermain bola di sini,” kataku pada bu guru. Aku gak peduli apa yang akan dilakukan Iwan cs padaku besok, yang jelas aku sudah membuktikan bahwa aku bukan seorang pengecut seperti mereka. Persetan dengan Iwan, aku gak takut!
Tepat dugaanku, ketika jam istirahat Iwan cs menghampiriku. Tiba-tiba dia mendorongku kasar, hingga aku jatuh tersungkur ke tanah. “ Dasar mulut comberan, berani ya elo ngadu sama bu guru, ” ujar Iwan berang. Aku bangun, sembari membersihkan bajuku dari butiran tanah yang menempel. “ Eh elo tanggungjawab dong, jadi cowok jangan pengecut, udah buat salah malah kabur, beraninya sama cewek,” tukasku dengan emosi. Iwan makin marah, “ Jaga ya mulut elo, dasar cewek ember,” Iwan mendorong kepalaku berkali-kali. Sempat kami beradu mulut, malah membuat emosi Iwan dan anteng-antengnya makin terbakar. Mereka semakin ganas. Memukul lenganku, menendang pantat dan kakiku, menari-narik rambutku, bahkan ada yang menarik rokku hingga hampir tersinggkap. Gila, aku dikeroyok  preman. Bagaimana bisa aku melawan, aku hanya sendiri sedangkan mereka banyak, tak ada tenagaku untuk mengalahkan mereka.
Aku hanya bisa menangis, menahan rasa sakit di kakiku yang memar. Namun hati ini lebih terluka melihat ketidakadilan yang menimpa diriku. Tak seorang pun yang peduli saat aku dianiaya dan dilecehkan, tidak dengan teman-temanku. Mereka hanya menonton, tak seorangpun yang berani membelaku, bahkan anak-anak cowok, nyali mereka menciut di hadapan Iwan cs. Aku benar-benar kecewa dengan sahabatku, mana janjinya “ kita bakal ngadepin mereka sama-sama”. Aku dijadikan tumbal, mereka rela melihatku dikerjai habis-habisan. Teman macam apa itu. Aku menyelamatkan kalian, tapi kenapa tak ada sedikitpun empati kalian terhadapku. Aku benci tempat ini.   
Ku seka air mata yang meleleh di pipi dengan lengan bajuku. Aku berjanji dalam hati untuk tidak menangis lagi jika disakiti, aku harus jadi perempuan kuat dan tegar. Air mata hanya akan membuat kita tampak lemah di hadapan orang lain. Cewek berani gak boleh nangis. Cewek harus bisa membela diri. Sejak saat itu, aku bertekad untuk sekali saja dalam hidupku belajar bela diri. Ilmu bela diri adalah bekal untuk jadi orang yang  tangguh. Gimana mau melawan, kalau kita sendiri lemah dan gak tahu bagaimana cara melawan. Aku harus menguasainya untuk melindungi diri dari penindasan. Membela diri itu perlu, agar kita tidak diinjak-injak.

0 comments:

Post a Comment

2011/01/27

Street Fighter


Suasana kelas enam riuh seperti pasar,  hiruk pikuk di saat jam pelajaran. Beginilah kondisi kalau tidak ada guru di kelas, semua sibuk dengan aktivits masing-masing, berharap rapat majelis guru berlangsung lama. Sehingga mereka bisa berbuat sesuka hati di dalam lokal tanpa pengawasan guru. Berberapa anak cowok bermain bola di bagian depan dekat papan tulis, yang lain menjadi suporter sambil memekik-mekik menyoraki jagoannya, ada beberapa anak cowok bermain gulat di bagian belakang kelas, mereka meniru aksi pegulat jagoannya yang sering mereka tonton di televisi. Anak perempuan lebih kalem, mereka tidak melakukan aktivitas agresif seperti anak lelaki, membuat satu lingkaran di sudut kelas, ngerumpi layaknya ibu-ibu, tertawa cekikikan hingga memambah hingar-bingar kelas. Aku salah satu dari mereka, sumber suara gaduh.
Keadaan lokal sebelah pun tidak berbeda, suara heboh anak-anak kelas lima itu tidak kalah dengan kami. Mereka malah berkeliaran ke luar kelas, membuat onar di kelas lain. Gerombolan cowok kelas lima adalah kelompok paling berandal di sekolah. Mereka adalah perkumpulan anak-anak yang pernah tinggal kelas, wajar saja ukuran tubuh mereka lebih besar dari anak-anak yang lain, bahkan ada yang usianya lebih tua dari kami siswa kelas enam karena sudah pernah tinggal kelas beberapa kali. Mereka sering menjajah dan menjahili anak-anak lain, termasuk kami murid kelas enam. Guru-guru sudah angkat tangan dengan kelakuan mereka, anak-anak bengal ini sudah semakin liar, tidak mempan dinasehati. Orangtua mereka sudah berkali-kali dipanggil kepala sekolah, namun tidak mengurangi kenakan mereka.  Murid  SD terbadung yang pernah ku kenal.
Iwan adalah anggota geng yang paling disegani, wajaupun badannya bukan yang paling besar namun anak-anak lain takut kepadanya. Dia seorang anak pemberani, tidak kenal rasa takut, selalu menang kalau berkelahi. Siang itu kesenangan kami agak terganggu karena kedatangan Iwan cs, mereka mengganggu anak yang sedang bermain bola. Tiba-tiba, PRANG! Suara bola membentur jam dinding mengagetkan seisi kelas. Jam dinding jatuh ke lantai, pecah berkeping terkena tendangan bola yang dilakuka olaeh Iwan. Mereka lalu kabur meninggalkan kelas, lari dari kesalahan yang diperbuat.
Rapat majelis guru selesai, wali kelas pun kembali kelas masing-masing. Ibu guru kaget mendapati serpihan jam dinding berserakan di lantai. “ Siapa yang melalukannya?” tanya bu guru. Tak seorang pun yang menjawab, tak ada yang mau mencari perkara dengan Iwan cs. Semua ketakutan, jika mereka melaporkan siapa pelakunya, sama saja bunuh diri. “Apa-apan ini, kenapa semua jadi pengecut?” gumamku dalam hati. Aku memandang ke arah anak-anak cowok, memberi isyrat agar mereka bersuara. Namun semua menggeleng, tak satupun yang mau buka mulut. Mereka malah menyuruh aku yang mengatakannya. “ Bilang aja, ntar kita sama-sama ngadepin Iwan,” ucap salah seorang temanku.
“Kalau kalian tidak mau mengatakan yang sebenarnya, Ibu akan beri hukum kalian semua,” ancaman bu guru kepada kami.  Tidak tahan atas desakan bu guru dan teman-teman, aku pun buka suara. “ Iwan Bu, dia tadi bermain bola di sini,” kataku pada bu guru. Aku gak peduli apa yang akan dilakukan Iwan cs padaku besok, yang jelas aku sudah membuktikan bahwa aku bukan seorang pengecut seperti mereka. Persetan dengan Iwan, aku gak takut!
Tepat dugaanku, ketika jam istirahat Iwan cs menghampiriku. Tiba-tiba dia mendorongku kasar, hingga aku jatuh tersungkur ke tanah. “ Dasar mulut comberan, berani ya elo ngadu sama bu guru, ” ujar Iwan berang. Aku bangun, sembari membersihkan bajuku dari butiran tanah yang menempel. “ Eh elo tanggungjawab dong, jadi cowok jangan pengecut, udah buat salah malah kabur, beraninya sama cewek,” tukasku dengan emosi. Iwan makin marah, “ Jaga ya mulut elo, dasar cewek ember,” Iwan mendorong kepalaku berkali-kali. Sempat kami beradu mulut, malah membuat emosi Iwan dan anteng-antengnya makin terbakar. Mereka semakin ganas. Memukul lenganku, menendang pantat dan kakiku, menari-narik rambutku, bahkan ada yang menarik rokku hingga hampir tersinggkap. Gila, aku dikeroyok  preman. Bagaimana bisa aku melawan, aku hanya sendiri sedangkan mereka banyak, tak ada tenagaku untuk mengalahkan mereka.
Aku hanya bisa menangis, menahan rasa sakit di kakiku yang memar. Namun hati ini lebih terluka melihat ketidakadilan yang menimpa diriku. Tak seorang pun yang peduli saat aku dianiaya dan dilecehkan, tidak dengan teman-temanku. Mereka hanya menonton, tak seorangpun yang berani membelaku, bahkan anak-anak cowok, nyali mereka menciut di hadapan Iwan cs. Aku benar-benar kecewa dengan sahabatku, mana janjinya “ kita bakal ngadepin mereka sama-sama”. Aku dijadikan tumbal, mereka rela melihatku dikerjai habis-habisan. Teman macam apa itu. Aku menyelamatkan kalian, tapi kenapa tak ada sedikitpun empati kalian terhadapku. Aku benci tempat ini.   
Ku seka air mata yang meleleh di pipi dengan lengan bajuku. Aku berjanji dalam hati untuk tidak menangis lagi jika disakiti, aku harus jadi perempuan kuat dan tegar. Air mata hanya akan membuat kita tampak lemah di hadapan orang lain. Cewek berani gak boleh nangis. Cewek harus bisa membela diri. Sejak saat itu, aku bertekad untuk sekali saja dalam hidupku belajar bela diri. Ilmu bela diri adalah bekal untuk jadi orang yang  tangguh. Gimana mau melawan, kalau kita sendiri lemah dan gak tahu bagaimana cara melawan. Aku harus menguasainya untuk melindungi diri dari penindasan. Membela diri itu perlu, agar kita tidak diinjak-injak.

0 komentar:

Post a Comment

Copyright @ Miscellaneous Thoughts | Floral Day theme designed by SimplyWP | Bloggerized by GirlyBlogger | Distributed by: best blogger template personal best blogger magazine theme | cheapest vpn for mac cheap vpn with open ports