Kamuflase

Aku menunggumu. Rindu-rindu yang menggantung sepanjang hari bangkit dari makam purbaku. Kemudian larut di perbatasan antara kabut bukit dan menjelma di balik rumpun bambu betung. Ada nyanyian kasmaran berdenting dawai resah. Aku menggenggam bara selepas magrib. Cinta meludahiku dengan hujan abu-abu. Aku pernah luruh di bawah sebatang pohon penuh duri. Yang pucuknya berhasrat merombengi matahari. Cabang dan rantingnya sibuk mencakari matahari. Akarnya seperti bandul jam melafalkan mantra dendam. Kupu-kupu lupa metamorphosis sayapnya terjerat jaring laba-laba. Sebait puisi lepas dengan huruf-huru penuh daki. Rindu-rindu yang menempel retak. Laba-laba merah bata bertapa di balik kungkungan. Kemana perginya harap yang ditindih kecemasan menyetubuhi resah. Aku pun pernah sembunyi dari kegelisahan rembulan, yang merangkai bunga api menuliskan syair api maka mimpi purbaku pecah. Sakit.


Aku menunggumu. Rindu-rindu yang tumpah dilantai menciptakan genangan-genangan air mata. Sebuah pelangi menempel di dahi para pengembara warnanya terlihat pudar. Impianku pecah. Pilihkan aku satu warna apa saja! Taruh di atas nampan dengan sisa-sisa kerinduan yang masih ada  Itupun jika kau masih punya Biarkan aku melayang-layang lagi di antara kawat jemuran Jinakkan angin liar itu. Tahan bayang itu barang sebentar saja. Tepat sejengkal di hadapanku kuminta kantung-kntung nasip, yang sejak kemarin terendam di lautan egoku berlagak tuli,     barangkali seperti seekor lalat tersesat di atas tahi kerbau Aku tak ingat lagi berapa musim pergi.

Kemana si pengembala membawa puisi-puisi cintanya. Kenapa setiap percintaan melahirkan rindu yang mesti hancur sebelum fajar datang. Jangan coba tanyakan padaku tentang kejujuran cinta. Menerkanya saja aku tak mampu. Aku ingin lumut untuk melulurkan tubuh dengan segenap wewangian turun ke dahi. Bercinta segila-gilanya, sehancur-hancurnya Hingga matahari tinggal semangkuk bakso yang bisa ku hirup seperti air liur mengalir.  Cinta tak datang seperti air kali.

Pungguk tenggelam di panci rembulan. Kecuali mimpi berkarat, aku hamper tak pernah menantinya  Walau musim yang aku tunggu akan habis, jelangkan di ujung muara kali atau bantarannya. Mungkin angin akan baersiul – siul, hujan akan tersenyum, bebatuan buta. Dan ketika waktu pinjamkan catatan pada setiap karmanya. Dan disetiap titik embun yang jatuh.  Sebab cinta tak perlu ditunggu disepanjang muara, kecuali asa berkarat dan sepi membatu. Bias.

0 comments:

Post a Comment

2011/01/31

Kamuflase

Aku menunggumu. Rindu-rindu yang menggantung sepanjang hari bangkit dari makam purbaku. Kemudian larut di perbatasan antara kabut bukit dan menjelma di balik rumpun bambu betung. Ada nyanyian kasmaran berdenting dawai resah. Aku menggenggam bara selepas magrib. Cinta meludahiku dengan hujan abu-abu. Aku pernah luruh di bawah sebatang pohon penuh duri. Yang pucuknya berhasrat merombengi matahari. Cabang dan rantingnya sibuk mencakari matahari. Akarnya seperti bandul jam melafalkan mantra dendam. Kupu-kupu lupa metamorphosis sayapnya terjerat jaring laba-laba. Sebait puisi lepas dengan huruf-huru penuh daki. Rindu-rindu yang menempel retak. Laba-laba merah bata bertapa di balik kungkungan. Kemana perginya harap yang ditindih kecemasan menyetubuhi resah. Aku pun pernah sembunyi dari kegelisahan rembulan, yang merangkai bunga api menuliskan syair api maka mimpi purbaku pecah. Sakit.


Aku menunggumu. Rindu-rindu yang tumpah dilantai menciptakan genangan-genangan air mata. Sebuah pelangi menempel di dahi para pengembara warnanya terlihat pudar. Impianku pecah. Pilihkan aku satu warna apa saja! Taruh di atas nampan dengan sisa-sisa kerinduan yang masih ada  Itupun jika kau masih punya Biarkan aku melayang-layang lagi di antara kawat jemuran Jinakkan angin liar itu. Tahan bayang itu barang sebentar saja. Tepat sejengkal di hadapanku kuminta kantung-kntung nasip, yang sejak kemarin terendam di lautan egoku berlagak tuli,     barangkali seperti seekor lalat tersesat di atas tahi kerbau Aku tak ingat lagi berapa musim pergi.

Kemana si pengembala membawa puisi-puisi cintanya. Kenapa setiap percintaan melahirkan rindu yang mesti hancur sebelum fajar datang. Jangan coba tanyakan padaku tentang kejujuran cinta. Menerkanya saja aku tak mampu. Aku ingin lumut untuk melulurkan tubuh dengan segenap wewangian turun ke dahi. Bercinta segila-gilanya, sehancur-hancurnya Hingga matahari tinggal semangkuk bakso yang bisa ku hirup seperti air liur mengalir.  Cinta tak datang seperti air kali.

Pungguk tenggelam di panci rembulan. Kecuali mimpi berkarat, aku hamper tak pernah menantinya  Walau musim yang aku tunggu akan habis, jelangkan di ujung muara kali atau bantarannya. Mungkin angin akan baersiul – siul, hujan akan tersenyum, bebatuan buta. Dan ketika waktu pinjamkan catatan pada setiap karmanya. Dan disetiap titik embun yang jatuh.  Sebab cinta tak perlu ditunggu disepanjang muara, kecuali asa berkarat dan sepi membatu. Bias.

0 komentar:

Post a Comment

Copyright @ Miscellaneous Thoughts | Floral Day theme designed by SimplyWP | Bloggerized by GirlyBlogger | Distributed by: best blogger template personal best blogger magazine theme | cheapest vpn for mac cheap vpn with open ports