
Aku menunggumu. Rindu-rindu yang tumpah dilantai menciptakan genangan-genangan air mata. Sebuah pelangi menempel di dahi para pengembara warnanya terlihat pudar. Impianku pecah. Pilihkan aku satu warna apa saja! Taruh di atas nampan dengan sisa-sisa kerinduan yang masih ada Itupun jika kau masih punya Biarkan aku melayang-layang lagi di antara kawat jemuran Jinakkan angin liar itu. Tahan bayang itu barang sebentar saja. Tepat sejengkal di hadapanku kuminta kantung-kntung nasip, yang sejak kemarin terendam di lautan egoku berlagak tuli, barangkali seperti seekor lalat tersesat di atas tahi kerbau Aku tak ingat lagi berapa musim pergi.
Kemana si pengembala membawa puisi-puisi cintanya. Kenapa setiap percintaan melahirkan rindu yang mesti hancur sebelum fajar datang. Jangan coba tanyakan padaku tentang kejujuran cinta. Menerkanya saja aku tak mampu. Aku ingin lumut untuk melulurkan tubuh dengan segenap wewangian turun ke dahi. Bercinta segila-gilanya, sehancur-hancurnya Hingga matahari tinggal semangkuk bakso yang bisa ku hirup seperti air liur mengalir. Cinta tak datang seperti air kali.
Pungguk tenggelam di panci rembulan. Kecuali mimpi berkarat, aku hamper tak pernah menantinya Walau musim yang aku tunggu akan habis, jelangkan di ujung muara kali atau bantarannya. Mungkin angin akan baersiul – siul, hujan akan tersenyum, bebatuan buta. Dan ketika waktu pinjamkan catatan pada setiap karmanya. Dan disetiap titik embun yang jatuh. Sebab cinta tak perlu ditunggu disepanjang muara, kecuali asa berkarat dan sepi membatu. Bias.
0 comments:
Post a Comment