“Kak ini aku Vano, buka pintunya dong!” ujar Vano dari balik pintu kamar Meta. Tidak ada jawaban. Vano khawatir dari kemarin Meta tidak mau keluar kamar. Kata mamanya, Meta mengurung diri terus sejak pulang kuliah. Bahkan untuk makan pun diak tidak mau. “Van kamu bujuk Meta ya! Dari kemarin dia belum makan. Tante takut kalau dia nanti jatuh sakit,” ucap tante Diah sambil membawakan makanan untuk Meta. “Emangnya kak Meta kenapa Tante, waktu Vano main kesini dia baik-baik aja?” tanya Vano heran melihat sikap Meta. “Enggak tau tuh Van, waktu Tante tanya dia cuma nangis dan langsung mengunci diri di kamar. Mungkin kalau kamu yang bujuk, dia bakal mau,” ujar mama Meta lagi. “Iya deh Tante, Vano coba ngomong sama kak Meta,” Vano mengangguk pelan dan mengambil mampan dari tangan tante Diah.
“Kak, ini Vano bawain makanan buat Kakak. Kakak makan ya! Entar sakit lho kalo enggak mau makan,” Vano mencoba membujuk Meta. Namun tetap tidak ada sahutan. Dia tetap bergeming, tidak mempedulikan ucapan Vano. “Please Kak! Vano mohon buka pintunya,” ucap Vano dengan nada memelas. “Udahlah Van kamu pergi aja,” terdengar sura Meta dari dalam kamar. “Enggak, aku enggak bakal pergi sebelum Kakak bukain pintu,” kata Vano. “Aku pengen sendiri,” ucap Meta serak. “Jadi selama ini buat apa kakak ngomong kalo hidup itu enggak pernah lepas dari masalah? Kakak sendiri kan yang bilang bahwa setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Tuhan tu enggak bakal ngasih cobaan di luar batas kemampuan manusia,” ujar Vano dengan meninggikan nada suaranya. Hanya isak tangis Meta yang dapat ditanggkap telinga Vano. “Apa terlalu berat, sampai Kakak jadi kayak gini?Apa enggak bisa dibagi? Cerita sama aku apa yang terjadi. Aku akan terus nunggu di sini sampai Kakak mau keluar. Atau Kakak mau aku dobrak pintu kamar ini?” Vano mengancam, berharap Meta Mau membuka pintu kamarnya.
“Enggak perlu”. Krek, terdengar suara kunci diputar. Meta akhirnya membuka pintu kamarnya. Berdiri di hadapan Vano dengan keadaan berantakan. Vano pun masuk kemudian meletakkan nampan di atas meja di samping tempat tidur Meta. Keadaan Meta benar-benar kacau, wajahnya kusut dan matanya bengkak karena terlalu lama menangis. Kamarnya pun berantakan, tissue dan lembaran foto-foto yang baru saja dirobek berserakan. Meta kembali menangis terisak di sisi tempat tidurnya. Vano jongkok memungut potongan foto, yang telah dirobek Meta. Ia kembali menyusunnya menjadi gambar yang utuh. Dalam foto itu Vano melihat gambar orang berciuman, seperti sepasang kekasih. Vano terus memperhatikan foto itu, sepertinya ia mengenali wajah kedua orang itu. Gambarnya buram, seperti diambil dari jarak yang cukup jauh, sehingga menyulitkan vano untuk mengenali wajah keduanya. Vano terus menatap potongan foto yang telah ia susun itu. “Oh God, enggak mungkin!” Vano tersentak setelah menyadari apa yang dia lihat. Vano sadar bahwa yang dalam foto itu adalah Andre, cowok yang telah dipacari Meta dua tahun belakangan bersama Lani. Sahabat Meta! Sekarang Vano mengerti kenapa Meta begitu terpukul.
Vano menghampiri Meta yang masih menangis di sisi tempat tidur seraya duduk disebelahnya. Ia diam membiarkan meta menangis menumpahkan kegundahannya. Mungkin air mata bisa sedikit membantu Meta mengeluarkan emosi dan rasa sesak yang membuncah di dadanya. Vano menunggu sampai Meta berhenti menangis. Rasanya aneh menyaksikan perempan menangis di dekatnya. Perasaan tak tega dan kasihan menyelimuti hatinya. Apalagi perempuan itu adalah Meta.
Perlahan-lahan tangisan meta reda. Hanya isakan kecil yang di dengar Vano. Meta sudah agak tenang sekarang. “Udah nangisnya?’ tanya Vano. Meta mengangguk pelan. “Vano, kenapa sih orang-orang yang kakak sayangi harus pergi ninggalin Kakak?
Vano menggenggam tangan Meta dan menatapnya lirih. “ Kakak sayang sama Vano gak.” Pertanyaan itu terlontar dari bibir Vano. Meta mengangguk pelan. “Tentu saja.”
“Vano gak bakal ninggalin Kakak,” ucap Vano. “Iya, Kakak tahu itu.” Meta tersenyum dan langsung memeluk Vano. Meta sangat menyayangi Vano, karena dialah yang selalu menemani dan menjaga Meta setelah Dylan, adik laki-laki Meta satu-satunya pergi untuk selamanya. Lima tahun yang lalu Dylan meninggal dalam kecelakaan mobil.
Rumah Vano bersebelahan dengan rumah Meta, mereka bersahabat semenjak kecil. Sejak kepergian Dylan, Vano lah yang selalu menghibur Meta, dia selalu ada kapanpun Meta membutuhkannya.
0 comments:
Post a Comment