Killing Me Softly


Rumah tangga pasangan muda itu semakin lengkap dengan kehadiran malaikat kecil di antara mereka. Dua tahun dalam penantian akhirnya mereka diberi anugerah seorang gadis kecil yang cantik dan menggemaskan. Dia tumbuh menjadi anak yang sehat, pertumbuhannya pun berkembang pesat, mulai dari merangkak, berjalan tertatih-tatih, berlari kecil sampai ia seringkali terjungkal karena keseimbangan yang belum sempurna.

Seperti kebanyakan anak-anak lain, dia sangat lincah dan suka bermain, namun sering kali ibunya kewalahan karena bayi mungil ini agak lasak, bahkan cenderung agresif. Dia akan sibuk dengan dunianya sendiri jika mememukan sesuatu yang dia suka, tak peduli larangan ibunya yang memperingatkan kalau itu adalah hal yang berbahaya. Tidak ada yang berbeda dengan anak ini, dia tidak menderita autis atau keterbelakangan mental, hanya saja dia memiliki rasa keingintahuan yang sangat besar terhadap sesuatu, membuatnya terlihat seperti hiperaktif, karena tidak bisa diam.  Hal yang wajar dialami anak-anak seusianya. 
Suatu ketika ibunya sibuk membersihkan halaman rumah, tanpa sepetahuan ibunya, dia masuk ke dalam rumah, berjalan dengan langkah terseok-seok menuju dapur, dia selalu dilarang ibunya untuk memasuki tempat ini. Saat memasak ibu akan menyuruhnya bermain di kamar atau di ruang tamu. Padahal ia ingin menemani ibu memasak dan penasaran bagaimana aktivitas menyiapkan makanan untuk keluarga.
Dia ingin bermain-main di dapur, sepertinya menarik. Matanya menangkap sesuatu di sudut dapur, dekat tempat pencucian piring. Ada ember besar berdiri di sana, dia pun menghampiri ember yang sedikit lebih tinggi darinya, meraih mulut ember itu dengan tangan mungilnya. Wow, ada air, dengan mata berbinar ia menggapa-gapai air di dalam ember tersebut. Dia pun terkekeh-kekeh saat menyaksikan cipratan air yang diciptakannya.  Kenapa ibu melarangnya bermain dengan ini?Kan asyik. Pikirnya yang sangat menggilai air. 
Dia makin jauh menjangkau air di dasar ember, mengaduk-aduk isinya sampai tubuhnya ikut basah. Dia makin menarik tubuhnya untuk mencapai dasar, tiba-tiba tubuh bagian atasnya terasa berat, dirinya seperti tertarik ke dalamnya. BYURR! Kepalanya masuk ke dalam ember menyentuh dasarnya, tubuhnya tenggelam, hanya kedua kakinya yang masih muncul dipermukaan. Air memenuhi rongga mulutnya, hingga ia menelannya sampai perutnya terasa sesak. Dia tidak bisa bernapas, paru-parunya seperti dimasuki air. Pantas saja ibu melarangnya bermain-main dengan air? Dia menangis, berteriak sekuat-kuatnya, namun suaranya teredam, hanya dia sendiri yang bisa mendengarnya. Dia meronta sekuat tenaga, menggoyang-goyangkan kedua kaki kecilnya.
Astaghfirullah! Anakku! Terdengar jeritan ibunya yang menyaksikan dua telapak kecil bergerak lemah dalam permukaan ember.
-------
Di sekitar rumahku banyak sekali terdapat kolam ikan.  Aku sanagt suka bermain-main di sana bersama sahabat-sahabat masa kecilku. Ayah selalu melarangku mendekati kolam-kolam itu, karena aku masih kecil, belum pandai berenang saat itu. Anak-anak yang lebih besar dariku dengan riang menceburkan diri mereka ke dalamnya. Namun aku sering tidak mengindahkan peringatan ayah, aku suka duduk-duduk di tepi kolam menyaksikan ikan-ikan berenang saling berebut makanan. Aku dan temanku melempar ludah ke arah ikan-ikan itu, merekapun menggerubutinya, seolah-seolah itu adalah santapan yang lezat. Kamipun tertawa menyaksikan pemandangan itu. Lalu mengulanginya lagi.
Saat hujan usai mengguyur bumi, itulah saat yang paling kami nanti di pinggir kolam. Biasanya setelah turun hujan, ikan-ikan kecil dan berudu akan bermain-main di tepian kolam. Aku suka menagkap ikan-ikan kecil dan anak-anak katak itu, dengan berbekal ember kecil, aku dan temanku akan menjerat mereka dan mengumpulkannya dalam botol.
Saking asyiknya menjangkau-jangkau, tiba-tiba kakiku terpeleset. Tanganku terlambat berpegangan pada tembok di sisi kolam.  Dengan sukses tubuhku terjerembab, tercebur ke dalam air. Aku sama sekali tak bisa berenang, tubuhku terapung-apung, mengelepar-gelepar di permukaan air.  Dadaku sesak, perutku kembung, sesorang tolong angkat aku dari sini.  Mana teman yang bersamaku tadi? Ah, dia meninggalkanku sendirian, dia membiarkanku mati! Apakah aku akan mati di kolam ini? Aku meracau dalam hati, membayangkan tubuhku menggembung kaku dan terapung-apung disaat orang-orang menemukanku. Semuanya tiba-tiba gelap.
Seseorang mengangkat tubuhku dan mengeluarkan air yang sempat terminum. Malaikat itu menyelamatkan hidupku. Aku gak jadi mati muda. Semenjak kejadian itu, aku mati-matian belajar berenang, agar bisa melawan air. Aku gak pernah jera, malah makin tertantang untuk mendekatinya. Aku gak boleh kalah oleh air, karena aku menyukainya. Bermesraan dengan air sangat menyenangkan bagiku. 
Untuk seorang perempuan berhati malaikat yang telah menolongku. Terima kasih sedalm-dalamnya, semoga Allah membalas kebaikanmu.

0 comments:

Post a Comment

2011/01/28

Killing Me Softly


Rumah tangga pasangan muda itu semakin lengkap dengan kehadiran malaikat kecil di antara mereka. Dua tahun dalam penantian akhirnya mereka diberi anugerah seorang gadis kecil yang cantik dan menggemaskan. Dia tumbuh menjadi anak yang sehat, pertumbuhannya pun berkembang pesat, mulai dari merangkak, berjalan tertatih-tatih, berlari kecil sampai ia seringkali terjungkal karena keseimbangan yang belum sempurna.

Seperti kebanyakan anak-anak lain, dia sangat lincah dan suka bermain, namun sering kali ibunya kewalahan karena bayi mungil ini agak lasak, bahkan cenderung agresif. Dia akan sibuk dengan dunianya sendiri jika mememukan sesuatu yang dia suka, tak peduli larangan ibunya yang memperingatkan kalau itu adalah hal yang berbahaya. Tidak ada yang berbeda dengan anak ini, dia tidak menderita autis atau keterbelakangan mental, hanya saja dia memiliki rasa keingintahuan yang sangat besar terhadap sesuatu, membuatnya terlihat seperti hiperaktif, karena tidak bisa diam.  Hal yang wajar dialami anak-anak seusianya. 
Suatu ketika ibunya sibuk membersihkan halaman rumah, tanpa sepetahuan ibunya, dia masuk ke dalam rumah, berjalan dengan langkah terseok-seok menuju dapur, dia selalu dilarang ibunya untuk memasuki tempat ini. Saat memasak ibu akan menyuruhnya bermain di kamar atau di ruang tamu. Padahal ia ingin menemani ibu memasak dan penasaran bagaimana aktivitas menyiapkan makanan untuk keluarga.
Dia ingin bermain-main di dapur, sepertinya menarik. Matanya menangkap sesuatu di sudut dapur, dekat tempat pencucian piring. Ada ember besar berdiri di sana, dia pun menghampiri ember yang sedikit lebih tinggi darinya, meraih mulut ember itu dengan tangan mungilnya. Wow, ada air, dengan mata berbinar ia menggapa-gapai air di dalam ember tersebut. Dia pun terkekeh-kekeh saat menyaksikan cipratan air yang diciptakannya.  Kenapa ibu melarangnya bermain dengan ini?Kan asyik. Pikirnya yang sangat menggilai air. 
Dia makin jauh menjangkau air di dasar ember, mengaduk-aduk isinya sampai tubuhnya ikut basah. Dia makin menarik tubuhnya untuk mencapai dasar, tiba-tiba tubuh bagian atasnya terasa berat, dirinya seperti tertarik ke dalamnya. BYURR! Kepalanya masuk ke dalam ember menyentuh dasarnya, tubuhnya tenggelam, hanya kedua kakinya yang masih muncul dipermukaan. Air memenuhi rongga mulutnya, hingga ia menelannya sampai perutnya terasa sesak. Dia tidak bisa bernapas, paru-parunya seperti dimasuki air. Pantas saja ibu melarangnya bermain-main dengan air? Dia menangis, berteriak sekuat-kuatnya, namun suaranya teredam, hanya dia sendiri yang bisa mendengarnya. Dia meronta sekuat tenaga, menggoyang-goyangkan kedua kaki kecilnya.
Astaghfirullah! Anakku! Terdengar jeritan ibunya yang menyaksikan dua telapak kecil bergerak lemah dalam permukaan ember.
-------
Di sekitar rumahku banyak sekali terdapat kolam ikan.  Aku sanagt suka bermain-main di sana bersama sahabat-sahabat masa kecilku. Ayah selalu melarangku mendekati kolam-kolam itu, karena aku masih kecil, belum pandai berenang saat itu. Anak-anak yang lebih besar dariku dengan riang menceburkan diri mereka ke dalamnya. Namun aku sering tidak mengindahkan peringatan ayah, aku suka duduk-duduk di tepi kolam menyaksikan ikan-ikan berenang saling berebut makanan. Aku dan temanku melempar ludah ke arah ikan-ikan itu, merekapun menggerubutinya, seolah-seolah itu adalah santapan yang lezat. Kamipun tertawa menyaksikan pemandangan itu. Lalu mengulanginya lagi.
Saat hujan usai mengguyur bumi, itulah saat yang paling kami nanti di pinggir kolam. Biasanya setelah turun hujan, ikan-ikan kecil dan berudu akan bermain-main di tepian kolam. Aku suka menagkap ikan-ikan kecil dan anak-anak katak itu, dengan berbekal ember kecil, aku dan temanku akan menjerat mereka dan mengumpulkannya dalam botol.
Saking asyiknya menjangkau-jangkau, tiba-tiba kakiku terpeleset. Tanganku terlambat berpegangan pada tembok di sisi kolam.  Dengan sukses tubuhku terjerembab, tercebur ke dalam air. Aku sama sekali tak bisa berenang, tubuhku terapung-apung, mengelepar-gelepar di permukaan air.  Dadaku sesak, perutku kembung, sesorang tolong angkat aku dari sini.  Mana teman yang bersamaku tadi? Ah, dia meninggalkanku sendirian, dia membiarkanku mati! Apakah aku akan mati di kolam ini? Aku meracau dalam hati, membayangkan tubuhku menggembung kaku dan terapung-apung disaat orang-orang menemukanku. Semuanya tiba-tiba gelap.
Seseorang mengangkat tubuhku dan mengeluarkan air yang sempat terminum. Malaikat itu menyelamatkan hidupku. Aku gak jadi mati muda. Semenjak kejadian itu, aku mati-matian belajar berenang, agar bisa melawan air. Aku gak pernah jera, malah makin tertantang untuk mendekatinya. Aku gak boleh kalah oleh air, karena aku menyukainya. Bermesraan dengan air sangat menyenangkan bagiku. 
Untuk seorang perempuan berhati malaikat yang telah menolongku. Terima kasih sedalm-dalamnya, semoga Allah membalas kebaikanmu.

0 komentar:

Post a Comment

Copyright @ Miscellaneous Thoughts | Floral Day theme designed by SimplyWP | Bloggerized by GirlyBlogger | Distributed by: best blogger template personal best blogger magazine theme | cheapest vpn for mac cheap vpn with open ports