Anugerah di Kesempatan Kedua


Dengan jantung berdebar tak karuan  perlahan ku buka akunku di portal akademik kampus, aku klik pada bagian kartu hasi studi dengan jemari sedikit gemetar. Deg, jantungku hampir  berceceran! Alhamdulillah! Sontak aku berteriak dalam hati.  Perjuanganku selama ini membuahkan hasil, meskipun tidak mendapatkan nilai tertinggi, setidaknya aku lulus di mata kuliah ini dengan nilai yang cukup memuaskan. Tiada kata yang pantas ku ucapkan selain rasa syukur yang mendalam atas jawaban Allah terhadap doa-doaku.
Berkutat dengan mata kuliah yang satu ini memang menjadi momok yang menakutkan bagiku. Masalahnya ini adalah kesempatan kedua setelah mengalami kegagalan di semester lalu. Trauma dengan kesadisan dosen yang menghargai perjuanganku dengan nilai serendah itu, aku memutuskan  mengulangnya dengan dosen berbeda. Berharap dosen ini bisa memberikan sistem penilaian yang lebih baik. Aku yakin performaku dalam mata kuliah ini tidak terlalu buruk hingga harus dicela dengan satu kata “gagal”, aku masih memegang pendirian bahwa bukan aku yang terlalu bodoh, namun dosen itu yang tidak mampu menilaiku.

Orang bilang, kesempatan enggak datang dua kali. Oleh karena itu, aku mempergunakan kesempatan kedua ini sebaik mungkin. Apapun akan ku lakukan agar bisa lulus, meski harus  tunggang-langgang, nyungsang kian kemari. Aku rela! Demi mengejar huruf cantik yang akan tertoreh di kartu hasil studiku ( baca : nilai ). Tak mengesampingkan tujuanku untuk memperoleh ilmu, namun tak menafikkan fakta bahwa tampaknya nilai adalah prioritas utama saat ini. Well, aku butuh NILAI dan ILMU. Aku tak sanggup lagi menjalani kesempatan ketiga, keempat, kelima..... Mau di taruh di mana mukaku.
Tuhan mendengar doa yang kuselipkan di sela-sela hari yang teruntai dalam merampungkan tugas ini. Untu saat ini aku bisa tersenyum lega, jerihku sedikit terobati, mudah-mudahan begitu pula dengan mata kuliah yang lain. Aku mendapat anugerah di tengah ratapan teman-teman yang mendapatkan hasil yang menyedihkan. Aku pernah merasakan hal yang sama semester lalu, kegagalan yang menghantamku bertubi-tubi.
Tak terbayangkan jika hal buruk itu kembali menghampiriku. Efek nya sangat fatal. Aku akan semakin lama membusuk di kampus, terseok-seok menyelesaikan kuliah, tidak kunjung tamat. Otomatis memambah beban di pundak orangtuaku, itu yang sangat ingin aku hindari. Aku tak ingin diri ini ditanggung terus-terusan oleh orangtua, selain mereka siapa lagi? Hanya orangtua tempatku bergantung, dari merekalah aku mendapat pasokan untuk menjadi seorang sarjana. Bagaimana meringankan beban yang dipikul orangtua, hanya itu yang ada dalam benakku saat ini. Terima kasih, Ya Allah, Engkau telah meringankan beban ini. Terima kasih Bapak dosen. Terima kasih Ayah, Ibu.

0 comments:

Post a Comment

2011/01/25

Anugerah di Kesempatan Kedua


Dengan jantung berdebar tak karuan  perlahan ku buka akunku di portal akademik kampus, aku klik pada bagian kartu hasi studi dengan jemari sedikit gemetar. Deg, jantungku hampir  berceceran! Alhamdulillah! Sontak aku berteriak dalam hati.  Perjuanganku selama ini membuahkan hasil, meskipun tidak mendapatkan nilai tertinggi, setidaknya aku lulus di mata kuliah ini dengan nilai yang cukup memuaskan. Tiada kata yang pantas ku ucapkan selain rasa syukur yang mendalam atas jawaban Allah terhadap doa-doaku.
Berkutat dengan mata kuliah yang satu ini memang menjadi momok yang menakutkan bagiku. Masalahnya ini adalah kesempatan kedua setelah mengalami kegagalan di semester lalu. Trauma dengan kesadisan dosen yang menghargai perjuanganku dengan nilai serendah itu, aku memutuskan  mengulangnya dengan dosen berbeda. Berharap dosen ini bisa memberikan sistem penilaian yang lebih baik. Aku yakin performaku dalam mata kuliah ini tidak terlalu buruk hingga harus dicela dengan satu kata “gagal”, aku masih memegang pendirian bahwa bukan aku yang terlalu bodoh, namun dosen itu yang tidak mampu menilaiku.

Orang bilang, kesempatan enggak datang dua kali. Oleh karena itu, aku mempergunakan kesempatan kedua ini sebaik mungkin. Apapun akan ku lakukan agar bisa lulus, meski harus  tunggang-langgang, nyungsang kian kemari. Aku rela! Demi mengejar huruf cantik yang akan tertoreh di kartu hasil studiku ( baca : nilai ). Tak mengesampingkan tujuanku untuk memperoleh ilmu, namun tak menafikkan fakta bahwa tampaknya nilai adalah prioritas utama saat ini. Well, aku butuh NILAI dan ILMU. Aku tak sanggup lagi menjalani kesempatan ketiga, keempat, kelima..... Mau di taruh di mana mukaku.
Tuhan mendengar doa yang kuselipkan di sela-sela hari yang teruntai dalam merampungkan tugas ini. Untu saat ini aku bisa tersenyum lega, jerihku sedikit terobati, mudah-mudahan begitu pula dengan mata kuliah yang lain. Aku mendapat anugerah di tengah ratapan teman-teman yang mendapatkan hasil yang menyedihkan. Aku pernah merasakan hal yang sama semester lalu, kegagalan yang menghantamku bertubi-tubi.
Tak terbayangkan jika hal buruk itu kembali menghampiriku. Efek nya sangat fatal. Aku akan semakin lama membusuk di kampus, terseok-seok menyelesaikan kuliah, tidak kunjung tamat. Otomatis memambah beban di pundak orangtuaku, itu yang sangat ingin aku hindari. Aku tak ingin diri ini ditanggung terus-terusan oleh orangtua, selain mereka siapa lagi? Hanya orangtua tempatku bergantung, dari merekalah aku mendapat pasokan untuk menjadi seorang sarjana. Bagaimana meringankan beban yang dipikul orangtua, hanya itu yang ada dalam benakku saat ini. Terima kasih, Ya Allah, Engkau telah meringankan beban ini. Terima kasih Bapak dosen. Terima kasih Ayah, Ibu.

0 komentar:

Post a Comment

Copyright @ Miscellaneous Thoughts | Floral Day theme designed by SimplyWP | Bloggerized by GirlyBlogger | Distributed by: best blogger template personal best blogger magazine theme | cheapest vpn for mac cheap vpn with open ports