Nuh bersipayah
membuat kapal di puncak bukit tentu saja harus menahan geram ketika ditertawai,
diganggu, dan dirusuh oleh kaumnya. Tetapi, sesudah hampir lima ratus tahun
mengemban risalah dengan pengikut yang nyaris tak bertambah, nuh berkata dengan
bijak, dengan cinta. “Kelak kami akan menertawai kalian sebagaimana kalian
menertawai kami kini.
Ya, Nuh belum
tahu bahwa kemudian banjir akan tumpah. Tercurah dari celah langit, terpancar
dari rengkah bumi. Air meluap dari tungkunya orang membuat roti dan mengepung
setinggi gunung. Nuh belum tahu. Yang ia tahu adalah ketika dia laksanakan
perintah rabbnya, maka Allah bersamanya. Dan alangkah cukup itu baginya.
Ibrahim yang bermimpi,
dia juga tak pernah tahu apa yang akan terjadi saat ia benar-benar menyembelih
putra tercinta. Anak itu, yang lama dirindukannya, yang dia nanti dengan harap
dan mata gerimis di tiap doa, tiba-tiba dititahkan untuk dipisahkan dari
dirinya. Dulu ketika lahir dia dipisahkan dengan ditinggal di lembah Bakkah yang
tak bertanaman, tak berhewan, tak bertuan. Kini Ismail harus dibunuh. Bukan
oleh orang lain. Tapi oleh tangannya sendiri.
Dibaringkan sang
putra yang pasrah dalam taqwa. Dan ayah mana yang sanggup membuka mata ketika
harus mengayau leher sang putera dengan pisau? Ayah mana yang sanggup
mengalirkan darah di bawah kepala yang biasa dibelainya sambil tetap menatap
wajahnya? Tidak. Ibrahim terpejam. Dan dia melakukannya! Ia melakukannya meski
belum tahu bahwa seekor domba besar akan menggantikan sang korban. Yang
diketahuinya saat itu bahwa dia diperintah Tuhannya. Yang ia tahu adalah ketika
dia laksanakan perintah Rabbnya, maka Allah bersamanya. Dan alangkah cukup itu
baginya.
Musa juga
menemukan jalan buntu, terantuk Laut Merah dalam kejaran Firaun. Bani Israil
yang dipimpinnya sudah riuh tercekam panik. “Kita pasti tersusul!”, kata
mereka. “Tidak!”, seru Musa. “Sekali-kali tidak akan tersusul! Sesungguhnya
Rabbku bersamaku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” Petunjuk itu pun
datang. Musa diperintahkan memukulkan tongkatnya ke laut. Nalar tanpa iman
berkata.”Apa gunanya? Lebih baik dipikulkan ke kepala Firaun!” Ya, bahkan Musa
pun belum tahu bahwa lautan akan terbelah kemudian. Yang dia tahu Allah
bersamanya. Dan itu cukup baginya.
Merekalah para
guru sejati. Yang kisahnya membuat punggung kita tegak, dada kita lapang, dan
hati berseri-seri. Yang keteguhannya memancar memerangi. Yang keagungannya
lahir dari iman yang kukuh, bergerun mengatasi gejolak hati dan nafsu diri. Di
jalan cinta para pejuang iman melahirkan keajaiban., lalu keajaiban menguatkan
iman. Semua itu terasa lebih indah karena terjadi dalam kejutan-kejutan. Yang
kita tahu hanyalah, “ Allah bersamaku, Ia akan memberi petunjuk kepadaku.”
Nuh belum tahu bahwa
banjir nanti tumpah ketika di gunung ia menggalang kapal dan ditertawai.
Ibarahim belum
tahu bahwa akan tercawis domba ketika pisaunya nyaris memapas buah hatinya.
Musa belum tahu
bahwa lautan akan terbelah saat ia diperintahkan memukulkan tongkat.
Di Badar
Muhammad berkata, bahunya terguncang isak. “ Andai pasukan ini kalah, Kau tak
lagi disembah!”
Dan kita pun
belajar, alangkah agungnya iman.
Jalan Cinta Para Pejuang. Salim A. Fillah
0 comments:
Post a Comment