Takut, Sang Pemersatu

Pada mulanya kita menyangka bahwa rasa takut merupakan naluri mendasar sang mangsa. Soiapa saja, sepanjang dalam dirinya bersemayam jiwa mangsa, maka rasa takut menjadi kesimpulan atas rangkaian hari-hari kehidupannya. Pemangsa dari rasa takut salah adalah mustahil-yang menerornya dengan pesimisme yang sadis. Lalu, di tengah kehidupan sang mangsa, rasa takut yang menggayutinya adalah takut gagal. Pemangsa segera menghadangnya dengan kegamangan-bertubu-tubi virus yang menyerang adalah disorientasi kerja. Akhirnya, mangsa benar-benar menemui hal yang ditakutinya, yaitu kenyataan yang telah ditakutinya sejak awal: salah dan gagal. Para pemangsa pun-mustahil, kegamangan, dan disorientasi-bersorak sorai meyakinkan keberhasilan mereka menaklukkan sang mangsa.

Tetapi, ternyata, rasa takut juga dimiliki oleh para pemangsa. Mustahil, misalnya, sangat takut kepada orang-orang yang tak pernah takut untuk berbuat salah ketika memulai sesuati. Orang ini ditakuti sang pemangsa karena optimisme yang dimilikinya tak mempan diteror oleh segala bentuk pesimisme. Ia juga menyebabkan tumbuhnya rasa takut pada diri-kegamangan, yang siap membantinya denga disorientasi tetapi rasa mantap dan fokus calon mangsa telah menbuyarkannya. Para pemangsa tak mampu berbuat apa-apa selain membiarkan orang itu merayakan keberhasilan paling hakiki dalam hidupnya, yaitu menjadi orang yang bebas dari mangsa siapapun.

Tentu ssaja, para mangsa bisa bangkit untuk keluar dari daftar korban para pemangsa. Ia bisa memulainya dengan bertarung melawan rasa takut salah, membunuh kegamangan, dan mendepak disorientasi . Apalagi ketika para mangsa tahu bahwa ternyata para pemangsa  juga punya rasa takut. Mereka akan bangkit dan mulai melakukan perlawanan dengan belajar dari kesalahan, berlatih untuk fokus dan mantap, dan mensyukuri setiap hasil akhir dengan bergairah dalam memperbaiki persentase gagal-berhasilny

Nah, jika rasa takut bisa menjadi pemersatu antara mangsa  dan pemangsa, sudah saatnya  mustahil, gamang, dan disorientasi dianggap sebagai makhluk biasa. Artinya, mangsa bisa berdampingan dengan pemangsa, tanpa saling menganggap istimewa.

Muhammad Yulius. Catcil. Annida No.7/XVI/ 15 Maret - 15 April 2007.

0 comments:

Post a Comment

2015/04/04

Takut, Sang Pemersatu

Pada mulanya kita menyangka bahwa rasa takut merupakan naluri mendasar sang mangsa. Soiapa saja, sepanjang dalam dirinya bersemayam jiwa mangsa, maka rasa takut menjadi kesimpulan atas rangkaian hari-hari kehidupannya. Pemangsa dari rasa takut salah adalah mustahil-yang menerornya dengan pesimisme yang sadis. Lalu, di tengah kehidupan sang mangsa, rasa takut yang menggayutinya adalah takut gagal. Pemangsa segera menghadangnya dengan kegamangan-bertubu-tubi virus yang menyerang adalah disorientasi kerja. Akhirnya, mangsa benar-benar menemui hal yang ditakutinya, yaitu kenyataan yang telah ditakutinya sejak awal: salah dan gagal. Para pemangsa pun-mustahil, kegamangan, dan disorientasi-bersorak sorai meyakinkan keberhasilan mereka menaklukkan sang mangsa.

Tetapi, ternyata, rasa takut juga dimiliki oleh para pemangsa. Mustahil, misalnya, sangat takut kepada orang-orang yang tak pernah takut untuk berbuat salah ketika memulai sesuati. Orang ini ditakuti sang pemangsa karena optimisme yang dimilikinya tak mempan diteror oleh segala bentuk pesimisme. Ia juga menyebabkan tumbuhnya rasa takut pada diri-kegamangan, yang siap membantinya denga disorientasi tetapi rasa mantap dan fokus calon mangsa telah menbuyarkannya. Para pemangsa tak mampu berbuat apa-apa selain membiarkan orang itu merayakan keberhasilan paling hakiki dalam hidupnya, yaitu menjadi orang yang bebas dari mangsa siapapun.

Tentu ssaja, para mangsa bisa bangkit untuk keluar dari daftar korban para pemangsa. Ia bisa memulainya dengan bertarung melawan rasa takut salah, membunuh kegamangan, dan mendepak disorientasi . Apalagi ketika para mangsa tahu bahwa ternyata para pemangsa  juga punya rasa takut. Mereka akan bangkit dan mulai melakukan perlawanan dengan belajar dari kesalahan, berlatih untuk fokus dan mantap, dan mensyukuri setiap hasil akhir dengan bergairah dalam memperbaiki persentase gagal-berhasilny

Nah, jika rasa takut bisa menjadi pemersatu antara mangsa  dan pemangsa, sudah saatnya  mustahil, gamang, dan disorientasi dianggap sebagai makhluk biasa. Artinya, mangsa bisa berdampingan dengan pemangsa, tanpa saling menganggap istimewa.

Muhammad Yulius. Catcil. Annida No.7/XVI/ 15 Maret - 15 April 2007.

0 komentar:

Post a Comment

Copyright @ Miscellaneous Thoughts | Floral Day theme designed by SimplyWP | Bloggerized by GirlyBlogger | Distributed by: best blogger template personal best blogger magazine theme | cheapest vpn for mac cheap vpn with open ports