Dari mana datangnya seluruh kesadaran kita pada hari ini?
Mungkin banyak dari kita yang tak begitu memikirkannya; bahwa kapasitas
kesadaran dalam diri kita tidak datang secara ujug-ujug. Dia terbentuk
oleh lalu lintas keluar masuknya informasi yang melewati pori-pori jiwa kita.
Taruhlah, sepuluh tahun yang lalu, kesadaran kita tentang sesuatu berbobot dua
kilogram-mungkin terdiri atas sedikit ilmu dan beberapa kebodohan. Namun, saat
kita melewati sebuah peristiwa dan ikut merasakannya, volume kesadaran kita
bertambah beratnya-mungkin disebabkan oleh masuknya sejumlah ilmu dan leuarnya
beberapa kebodohan tersebut.
Jika kita memang memiliki pori-pori, tempat keluar masuknya
informasi yang ikut membentuk kesadran kita, yang umumnya terdiri atas dua
“makhluk”: ilmu dan kebodohan. Kedua makhluk ini bisa keluar (yang berarti
memambah bobot keilmuan kita jika yang keluar itu kebodohan) dan bisa masuk
(yang artinya memperberat kebodohan kita jika yang keluar itu ilmu). Keluarnya
kebodohan, dalam konteks ini, tentu saja bukanlah karena kebodohan itu
ditransfer-apalagi diregenerasikan—melainkan benar-benar lenyap seperti embun
pagi yang ditimpa sinar matahari. Dan keluarnya ilmu bukan karena diamalkan
kepada orang lain, melainkan justru karena tak pernah diamalkan sama sekali
hingga dia pergi, seperti usia tua yang tak mungkin menjadi muda kembali.
Kita menyadari pori-pori jiwa mungkin sebagai rasa sensitif
atau peka yang bekerja mencerap informasi saat kita melewati sebuah
peristiwa-yang kemudian kita rasakan sebagai inspirasi, ide, gagasan, yang
menambah ilmu dan “mendepak” kebodohan-kebodohan kita. Sayangnya, rasa sensitif
lebih sering kita gunakan sebagai pertahanan untuk hal-hal yang berkenaan
dengan ego-sentris kita.Hasilnya, kita lebih sering tersinggung daripada
berpikir untuk bertindak lebih baik dan kreatif.
Muhammad Yulius. Catcil. Annida No.3/XVIII November 2008.
0 comments:
Post a Comment