Kataku


Mencoret Kata Menjegal Ingatan Duka

Mencoretkan kata adalah melepaskan rasa, memoles ingatan dengan suka-duka, menentramkan hidup. Makna tak begitu penting, seperti tubuh lelah menggulung di atas busa kasur. Saaat lemas seluruh badan, aku tak punya karya yang harus kuulik, khawatir akan hari esok, dikejar hari kemarin. Hidup kuaduk-aduk lagi, kutata biar pas dengan tantangan hari ini. Waktu tak selalu lurus ke depan. Kadang ia melingkar, berputar-putar saja. Lalu kupecah, lompat ke lingkaran lain, atau bolak-balik tak jelas tujuan. Dunia adalah hamparan tanda tanya. Peta hanya sekedar imajinasi yang menggambar hidup seolah-olah tertata, rekaan yang membuat hati lega sementara. Lalu buat apa aku susah payah membuat rencana masa depan? Buat apa menakar diri untuk dicocokkan dengan masa depan? Kulepas saja kata-kata sambil melepaskan keresahan dan duka-lara yang tak kumengerti.

Aku tak pernah bisa menerka keberartian diriku. Duka bukan saja asing, tapi memedihkan. Sudah berapa banyak kubuat, aku tak tahu. Berartikah? Waktu tak pernah selesai, tetapi masih saja aku terburu-buru. Berapa liter oksigen harus kuhirup setiap hari, biar hidup jadi lapang? Atom-atom tubuhku tumbuh pesat, bertabrakan melinukan. Ke mana hati akan bertempat sejak plasma darah tak lagi bergerak. Aku lemas, dan waktu padahal tak pernah selesai melonggarkan ruang, menyempatkan burung-burung berkepakan, kawin, beranak pinak. Kakiku terus saja bertabrakan, terbentur nafas orang-orang di jalanan, mereka yang memburu uap hidup tanpa tahu rupa hidup sebenarnya. Jadi biar saja aku memencar dan mengabur, seperti hidup orang-orang kebanyakan. Tak perlu kutegaskan hidupku, tak perlu langkah-langkah yang terumuskan dari jauh-jauh hari.
---
Bukankah memang begitu, hidup sejak semula adalah kelelahan dan putus asa. Seperti Chairil menegaskan, hidup cuma menunda kekalahan. Kuterima itu sebelum aku mabuk dengan keyakinan bahwa hidup dapat terpegang dengan jelas. Kuterima hidup yang akan berulang, kembali seperti sedia kala, sama dan sama lagi. Kuterima hidup yang cuma mondar-mandir, melingkar kembali dan kembali, begitu dan begitu saja. Kuterima hidup sebagai ruang angkasa yang tak terjelajahi, sampai kapan pun, tak akan pernah kumengerti. Lalu kucoretkan kata-kata setiap resah datang menyergap. Kucegah datangnya duka dengan persuasi terhadap diri. Kubujuk benakku untuk percaya bahwa resah dan duka-lara akan berhenti punya makna jika mencegahnya dengan makna-makna lain. Kucegah rmuknya diriku dengan bujuk rayu yang mengundang hasrat. Kucegah hidup jadi telingas dengan gerak-gerik tak beraturan. Kucegah penghianatan dunia dengan ketidaksetiaan pada apa pun. Kucegah harapan palsu dengan pembatalan segala niat. Kucegah semua kemungkinan dengan kemungkinan acak yang tak pernah kubayangkan. Mengalir dalam kebingungan, menyanyi dalam kepedihan, dan berlari ke segala arah. Kulepas saja kata-kata. Kuhirup saja udara. Kuabaikan saja perkara. Kuputuskan untuk mabuk terus, kuikuti dewa-dewa yang menentukan diri sendiri mengabaikan dunia yang tak juga punya bentuk. Dunia porak poranda, aku tetap bisa tertawa.*

* Rhapsody Ingatan
Bagus Takwim

Kataku


Mencoret Kata Menjegal Ingatan Duka

Mencoretkan kata adalah melepaskan rasa, memoles ingatan dengan suka-duka, menentramkan hidup. Makna tak begitu penting, seperti tubuh lelah menggulung di atas busa kasur. Saaat lemas seluruh badan, aku tak punya karya yang harus kuulik, khawatir akan hari esok, dikejar hari kemarin. Hidup kuaduk-aduk lagi, kutata biar pas dengan tantangan hari ini. Waktu tak selalu lurus ke depan. Kadang ia melingkar, berputar-putar saja. Lalu kupecah, lompat ke lingkaran lain, atau bolak-balik tak jelas tujuan. Dunia adalah hamparan tanda tanya. Peta hanya sekedar imajinasi yang menggambar hidup seolah-olah tertata, rekaan yang membuat hati lega sementara. Lalu buat apa aku susah payah membuat rencana masa depan? Buat apa menakar diri untuk dicocokkan dengan masa depan? Kulepas saja kata-kata sambil melepaskan keresahan dan duka-lara yang tak kumengerti.

Aku tak pernah bisa menerka keberartian diriku. Duka bukan saja asing, tapi memedihkan. Sudah berapa banyak kubuat, aku tak tahu. Berartikah? Waktu tak pernah selesai, tetapi masih saja aku terburu-buru. Berapa liter oksigen harus kuhirup setiap hari, biar hidup jadi lapang? Atom-atom tubuhku tumbuh pesat, bertabrakan melinukan. Ke mana hati akan bertempat sejak plasma darah tak lagi bergerak. Aku lemas, dan waktu padahal tak pernah selesai melonggarkan ruang, menyempatkan burung-burung berkepakan, kawin, beranak pinak. Kakiku terus saja bertabrakan, terbentur nafas orang-orang di jalanan, mereka yang memburu uap hidup tanpa tahu rupa hidup sebenarnya. Jadi biar saja aku memencar dan mengabur, seperti hidup orang-orang kebanyakan. Tak perlu kutegaskan hidupku, tak perlu langkah-langkah yang terumuskan dari jauh-jauh hari.
---
Bukankah memang begitu, hidup sejak semula adalah kelelahan dan putus asa. Seperti Chairil menegaskan, hidup cuma menunda kekalahan. Kuterima itu sebelum aku mabuk dengan keyakinan bahwa hidup dapat terpegang dengan jelas. Kuterima hidup yang akan berulang, kembali seperti sedia kala, sama dan sama lagi. Kuterima hidup yang cuma mondar-mandir, melingkar kembali dan kembali, begitu dan begitu saja. Kuterima hidup sebagai ruang angkasa yang tak terjelajahi, sampai kapan pun, tak akan pernah kumengerti. Lalu kucoretkan kata-kata setiap resah datang menyergap. Kucegah datangnya duka dengan persuasi terhadap diri. Kubujuk benakku untuk percaya bahwa resah dan duka-lara akan berhenti punya makna jika mencegahnya dengan makna-makna lain. Kucegah rmuknya diriku dengan bujuk rayu yang mengundang hasrat. Kucegah hidup jadi telingas dengan gerak-gerik tak beraturan. Kucegah penghianatan dunia dengan ketidaksetiaan pada apa pun. Kucegah harapan palsu dengan pembatalan segala niat. Kucegah semua kemungkinan dengan kemungkinan acak yang tak pernah kubayangkan. Mengalir dalam kebingungan, menyanyi dalam kepedihan, dan berlari ke segala arah. Kulepas saja kata-kata. Kuhirup saja udara. Kuabaikan saja perkara. Kuputuskan untuk mabuk terus, kuikuti dewa-dewa yang menentukan diri sendiri mengabaikan dunia yang tak juga punya bentuk. Dunia porak poranda, aku tetap bisa tertawa.*

* Rhapsody Ingatan
Bagus Takwim

Copyright @ Miscellaneous Thoughts | Floral Day theme designed by SimplyWP | Bloggerized by GirlyBlogger | Distributed by: best blogger template personal best blogger magazine theme | cheapest vpn for mac cheap vpn with open ports