Limpapeh Bridge

Kamuflase

Aku menunggumu. Rindu-rindu yang menggantung sepanjang hari bangkit dari makam purbaku. Kemudian larut di perbatasan antara kabut bukit dan menjelma di balik rumpun bambu betung. Ada nyanyian kasmaran berdenting dawai resah. Aku menggenggam bara selepas magrib. Cinta meludahiku dengan hujan abu-abu. Aku pernah luruh di bawah sebatang pohon penuh duri. Yang pucuknya berhasrat merombengi matahari. Cabang dan rantingnya sibuk mencakari matahari. Akarnya seperti bandul jam melafalkan mantra dendam. Kupu-kupu lupa metamorphosis sayapnya terjerat jaring laba-laba. Sebait puisi lepas dengan huruf-huru penuh daki. Rindu-rindu yang menempel retak. Laba-laba merah bata bertapa di balik kungkungan. Kemana perginya harap yang ditindih kecemasan menyetubuhi resah. Aku pun pernah sembunyi dari kegelisahan rembulan, yang merangkai bunga api menuliskan syair api maka mimpi purbaku pecah. Sakit.

Japanese Tunnel

Misery


Nyanyian sang diam kembali merayap
Merasuki, akhirnya beri jeda dalam senyap
Hancur rasa menusuk, namun hanya hadir
Kepingan hasrat terserak, torehkan getir
Menjelma menjadi luka batin tanpa kendali
Ketukan nada sang bisu kini terdengar
Denyut emosi dan nadi cinta mulai terdengar
Harap jerat pelangi menyayat, memberi riap
Pada potongan jiwa yang telah sesat akan gelap
Bubuhkan pahit pada rasa yang dikecap
Tutur kata sang bijak terasa mendekat
Menarik sadar, lelah mengembara di padang kemunafikan
Menyadari tinta kelam kembali tertumpah pada angan
Ingin tahu jawab, jujur yang harus terucap
Walau tak kupungkiri, asaku tersayat
tanpa mampu menyatu kembali

Vanish

Bila memamg kau ada untukku
mengapa angin berlalu bisu?
Rinduku membelenggu hati
bebaskan aku dari hukuman mati ini
Sayap-sayap jiwaku mengelana bebas
haturkan tanya pada setiap risau
Kemanakah kau cinta?
Bila memang kau ada untukku
Mengapa hati terisis perih?
Penjaga takdir diam di sudut hari
tak membuka mata
meski bintang terus menghiba
Mimpiku tercabik nyata
tak lagi berdaya hadirkan wajahmu
Cintaku terhapus hujan
tinggalkan biru pada langit yang bergetar


Edelweiss


Menjunjung akal dalam kegilaan yang waras
Menentukan yang waras dalam ketabuan
Yang melunak dalam hati seharusnya kuterima
Namun kutantang dalam keperihan
Tetapi yang harus kubantah, kutelan dalam-dalam
Kengerian yang meruak setiap detik nadi
Membuat rasa didalamnya terpasung
Membayangkan segala yang tak pernah pasti
Dan menatap realita sebagai musuh abadi
Mencoba menyimpan segalanya rapat-rapat dan berharap
Doa yang tak pernah putus menghiasi lorong-lorong batin
Tuhan… keyakinan apa yang Kau berikan atas nama cinta
Semuanya sarat dengan makna tak terbaca
Teguh ini mempertahankan segala yang telah hilang
Tuhan menjanjikan jawaban untuk hamba-Nya yang berdoa
Entah kapan… entah dimana…
Aku terus menunggu sampai
Tuhan menjawabnya
                      

Desire


Sayang,
Kenalilah musim hujan yang basah
Dan kemarau yang meranggaskan daun-daun kering
Di sepanjang hari dalam dua belas purnama
Karna cintaku bersemi di dua musim
Kenalilah gelisah angin diantara buluh-buluh bambu
Yang meliuk kekanan dan meliuk kekiri
Yang gemerisik diantara sunyi
Karena ada bisikan tentang gelisahku
Ketika senja turun di bukit-bukit tak berpenghuni
Ada rona yang dilukiskan pada latar langit
Merah membara dan kadang-kadang lembayung
Kenalilah warnanya yang disapukan dari rinduku
Sayang,
Malam-malam ku adalah catatan tentang cinta
Dinginnya menghangatkan dan member aroma rasa
Aku jejaki purnama yang tenggelam di antara awan
Dan aku ingin terbenam bersama cinta yang kau bawa

Ruinous


Terbangun linglung, kudapati cinta berbuah kebencian
Dipenuhi ratusan ribu nanar
Akupun tenggelam dalam kesangsian akan hari depan
Dalam kalap jiwa yang kau jebak
Kutata muka dan berdiri patahkan rasa
Kenakan busana baru rajutan dendam
Dan penuhi tangki-tangki doa dengan kutukan
Tak kulihat warna selain buram
Setumpuk nilai pun sirna dibenam nafsu
Sungguh aku tertawan dan karam
Dalam lubang sempit bernama kekecewaan



Bosom


Kami empat mata angin bumi
Berlayar kita di lembah suka duka
Menghirup cerita lagu pedih hati meniup tiap sengsara jiwa
Aku,kamu,kamu,dan kamu
Kita seperti pasir isap satu tarikan tali
Kita adalah warna pelangi yang tak tertembus mentari
Kita bagai kumpulan anjing liar pemangsa pagi
Tuhan, aku harap tiada akhir yang aka nada
Seperti salju kutup yang selalu menemani bumi
Seperti ikan laut yang tak kekurangan garam dunia
Aku dan kita kupastikan tiada akhir nanti

Funeral

Cintamu  pernah berkilauan dibatinku
Seperti bola mata anak kecil
Yang bersih dilambung puisi
Tapi sekarang semua redam
Ia hidup dalam cahaya remang
Tersenyum menjaga rumah di negeri bulan
Siapakah itu yang kemari diantara siluet hujan?
Barangkali rohmu  melayang-layang
Mencari cinta, yang ada dalam genggamanku
Sayangnya kau terlambat, Sayang
cintaku sudah bersemayam dipemakaman

Parade Senja


Seberkas cahaya ku petik di penghujung senja
Berpadu pada warna langit jingga
Tak lupa ku iris sehelai awan muda
Untuk menemanimu membelai purmana
Kemasi persembahanku dalam balutan cinta
Sebelum kereta kencana membawa kita berkelana

Killing Me Softly


Rumah tangga pasangan muda itu semakin lengkap dengan kehadiran malaikat kecil di antara mereka. Dua tahun dalam penantian akhirnya mereka diberi anugerah seorang gadis kecil yang cantik dan menggemaskan. Dia tumbuh menjadi anak yang sehat, pertumbuhannya pun berkembang pesat, mulai dari merangkak, berjalan tertatih-tatih, berlari kecil sampai ia seringkali terjungkal karena keseimbangan yang belum sempurna.

Street Fighter


Suasana kelas enam riuh seperti pasar,  hiruk pikuk di saat jam pelajaran. Beginilah kondisi kalau tidak ada guru di kelas, semua sibuk dengan aktivits masing-masing, berharap rapat majelis guru berlangsung lama. Sehingga mereka bisa berbuat sesuka hati di dalam lokal tanpa pengawasan guru. Berberapa anak cowok bermain bola di bagian depan dekat papan tulis, yang lain menjadi suporter sambil memekik-mekik menyoraki jagoannya, ada beberapa anak cowok bermain gulat di bagian belakang kelas, mereka meniru aksi pegulat jagoannya yang sering mereka tonton di televisi. Anak perempuan lebih kalem, mereka tidak melakukan aktivitas agresif seperti anak lelaki, membuat satu lingkaran di sudut kelas, ngerumpi layaknya ibu-ibu, tertawa cekikikan hingga memambah hingar-bingar kelas. Aku salah satu dari mereka, sumber suara gaduh.

Hollow

Senyummu adalah gerimis pertama
 yang menyiram kegersangan kalbu
setelah kemarau panjang di awal musim.
Lembab, dingin menelisik jauh ke dasar hati,
melumerkan tiap kepingan darah yang sempat membatu.
Semusim ku dapati dirimu berjungkat-jungkit
dalam jangkar sepi di bawah bias mantari.
 ilalang bisu menatapmu riang
melambai di padang tak bertuan.
Apa gerangan yang kau rengkuah dalam dekapanmu?
 Mataku menangkap ada segumpal hati
 bagai permukaan bulan di sana,
berkawah, penuh lubang terpapar
Wajahmu tersaput kabut samar
Memburatkan bayang hampa
Kedua korneamu bicara mengisyaratkan makna
Ada bilur penyesalan terpantul
Di antara kicauan burung dan desau angin menerpa
Kau  ucapkan namaku perlahan
Seolah sengau dan tak lantang
Nadamu terdengar gamang untuk dilontarkan
Ada semburat keraguan terpancar
Percayalah aku bukan algojo yang akan mencincang jantungmu
Berikan gumpalah hatimu yang cacat itu padaku
Akan ku tutupi palungnya dengan aliran  nadi ini.
Hingga menciptakan hujan merah jambu
membasuh jiwamu yang berkalang luka.  

Anugerah di Kesempatan Kedua


Dengan jantung berdebar tak karuan  perlahan ku buka akunku di portal akademik kampus, aku klik pada bagian kartu hasi studi dengan jemari sedikit gemetar. Deg, jantungku hampir  berceceran! Alhamdulillah! Sontak aku berteriak dalam hati.  Perjuanganku selama ini membuahkan hasil, meskipun tidak mendapatkan nilai tertinggi, setidaknya aku lulus di mata kuliah ini dengan nilai yang cukup memuaskan. Tiada kata yang pantas ku ucapkan selain rasa syukur yang mendalam atas jawaban Allah terhadap doa-doaku.
Berkutat dengan mata kuliah yang satu ini memang menjadi momok yang menakutkan bagiku. Masalahnya ini adalah kesempatan kedua setelah mengalami kegagalan di semester lalu. Trauma dengan kesadisan dosen yang menghargai perjuanganku dengan nilai serendah itu, aku memutuskan  mengulangnya dengan dosen berbeda. Berharap dosen ini bisa memberikan sistem penilaian yang lebih baik. Aku yakin performaku dalam mata kuliah ini tidak terlalu buruk hingga harus dicela dengan satu kata “gagal”, aku masih memegang pendirian bahwa bukan aku yang terlalu bodoh, namun dosen itu yang tidak mampu menilaiku.

Mist

Hujan menodai cakrawala, kabut memenuhi ladang dengan bayangan biru. Lima merpati putih menanti di atas pohon jati. Semuanya terdiam. Bahkan aku, menanti di bawah langit terbuka, wajahku basah dan muda. Bukan pagi, bukan malam, sesuatu di antara kuda-kuda di bawah sinar matahari.  Belalang bersenandung dalam sinar keemasan. Musim yang begitu hangat, daun-daun lembab merah merebak di tanah. Ini di antara tempat yang diapit oleh biru dan merpati yang menanti. Di sinilah tempat aku menanti di antara masa kanak-kanak dan dewasa, tertidur dan terjaga, tahu dan tidak tahu.

Reap

Aku tak pernah lelah mengeja hari tanpa sandaran cinta pasti. Banyak kekuatan yang mematriku untuk bertahan dalam lorong sepi. Dalam sunyi aku menuai benih-benih cinta yang siap ku tebar bila sang pemanah telah melesatkan anak panahnya tepat di ulu hati, tempat aku menyimpan sejuta kerinduan yang ku tata rapi. Tidak mudah memang membendung gemuruh hasrat  yang mudah datang kemudian secepat kilat berlalu pergi. Keteguhan membawaku pada tujuan abadi. Akhir penantian sakral yang mati-matian ku jaga di antara dua musim yang datang silih berganti. Meski terpasung waktu, tiada memudarkan asa yang tertancap dalam cengkeraman kepingan cinta yang ku pungut dari lembaran kisah yang tercecer. Ku rangkum semua serpihan itu dalam balutan kain sutera emas yang ku sulam dengan benang termahal yang pernah ada.  Hingga ketika sang waktu mulai menjamah dan memberi tanda pada semesta, saat itu pula ku lepaskan sesuatu yang tersimpan itu pelan-pelan. Membiarkannya terbang membubung tinggi meniti langit. Menjemput takdir, lalu melenggang menuju keabadian.

Moonlight

Mereka bergumul bermandikan cahaya purnama di pertengahan bulan. Menari – nari diiringi desau angin yang mengalunkan melodi picisan. Sepertinya menggairahkan, hingga merelakan tubuh terombang ambing di bawah hentakan nada yang dialunkan similir angin malam. Aku bergeming di balik benteng yang ku bangun dengan sedikit keangkuhan, tiada peduli pada rayuan bulan yang mampu menlenyapkan kepekatan malam. Dengan santai aku tetap meringkuk dalam bilik temaram ditemani jelaga hitam yang membumbung liar menghiasi langit-langit kamar. Desahan dalam balutan derai tawa tidak mampu menggelitikku sedikitpun. Tiada menarik bagiku yang merindui cahaya sejati. Ratusan kali purnama menyembul indah, hanya memberikan semburat harapan kosong di mataku. Aku tak sudi merelakan diri ini terkatung-katung ditunggangi rembulan dengan cahaya maya. Bukankah lebih baik seperti ini, menggantungkan asa pada  sinar abadi.

Catatan Hati di Setiap Sujudku


Membaca buku  Catatan Hati di Setiap Sujudku  (Asma Nadia, dkk ) membuatku merasa ditonjok. Buku yang berisi kisah sejati orang-orang yang memiliki ketabahan luar biasa dalam menjalani ujian dari Allah ini mampu membuatku termenung menyadari kekhilafanku selama ini. Air mataku menetes tanpa sengaja, mendesak ingin keluar tatkala mencerna satu-persatu hubungan mesra yang terjalin antara orang-orang ajaib ini dengan Allah. Mereka berkomunikasi dengan Sang khalik melalui doa yang khusyuk dan tak henti-hentinya.

Self Esteem

Sungguh sangat mengesalkan ketika kegagalan datang menghampiri, padahal kita sudah berusaha sekuat tenaga untuk mewujudkannya. Namun keadaan berkata lain, ada saja yang menghalanginya, sesuatu yang kita inginkan memang tidak selalu ada ketika kita sangat mengharapkannya. Rasanya menjadi orang yang paling sengsara sedunia kerena kita tidak bisa memperolehnya, padahal perjuangan yang dilakukan tidak sedikit.

2011/01/31

Limpapeh Bridge

Kamuflase

Aku menunggumu. Rindu-rindu yang menggantung sepanjang hari bangkit dari makam purbaku. Kemudian larut di perbatasan antara kabut bukit dan menjelma di balik rumpun bambu betung. Ada nyanyian kasmaran berdenting dawai resah. Aku menggenggam bara selepas magrib. Cinta meludahiku dengan hujan abu-abu. Aku pernah luruh di bawah sebatang pohon penuh duri. Yang pucuknya berhasrat merombengi matahari. Cabang dan rantingnya sibuk mencakari matahari. Akarnya seperti bandul jam melafalkan mantra dendam. Kupu-kupu lupa metamorphosis sayapnya terjerat jaring laba-laba. Sebait puisi lepas dengan huruf-huru penuh daki. Rindu-rindu yang menempel retak. Laba-laba merah bata bertapa di balik kungkungan. Kemana perginya harap yang ditindih kecemasan menyetubuhi resah. Aku pun pernah sembunyi dari kegelisahan rembulan, yang merangkai bunga api menuliskan syair api maka mimpi purbaku pecah. Sakit.

Japanese Tunnel

2011/01/29

Misery


Nyanyian sang diam kembali merayap
Merasuki, akhirnya beri jeda dalam senyap
Hancur rasa menusuk, namun hanya hadir
Kepingan hasrat terserak, torehkan getir
Menjelma menjadi luka batin tanpa kendali
Ketukan nada sang bisu kini terdengar
Denyut emosi dan nadi cinta mulai terdengar
Harap jerat pelangi menyayat, memberi riap
Pada potongan jiwa yang telah sesat akan gelap
Bubuhkan pahit pada rasa yang dikecap
Tutur kata sang bijak terasa mendekat
Menarik sadar, lelah mengembara di padang kemunafikan
Menyadari tinta kelam kembali tertumpah pada angan
Ingin tahu jawab, jujur yang harus terucap
Walau tak kupungkiri, asaku tersayat
tanpa mampu menyatu kembali

Vanish

Bila memamg kau ada untukku
mengapa angin berlalu bisu?
Rinduku membelenggu hati
bebaskan aku dari hukuman mati ini
Sayap-sayap jiwaku mengelana bebas
haturkan tanya pada setiap risau
Kemanakah kau cinta?
Bila memang kau ada untukku
Mengapa hati terisis perih?
Penjaga takdir diam di sudut hari
tak membuka mata
meski bintang terus menghiba
Mimpiku tercabik nyata
tak lagi berdaya hadirkan wajahmu
Cintaku terhapus hujan
tinggalkan biru pada langit yang bergetar


Edelweiss


Menjunjung akal dalam kegilaan yang waras
Menentukan yang waras dalam ketabuan
Yang melunak dalam hati seharusnya kuterima
Namun kutantang dalam keperihan
Tetapi yang harus kubantah, kutelan dalam-dalam
Kengerian yang meruak setiap detik nadi
Membuat rasa didalamnya terpasung
Membayangkan segala yang tak pernah pasti
Dan menatap realita sebagai musuh abadi
Mencoba menyimpan segalanya rapat-rapat dan berharap
Doa yang tak pernah putus menghiasi lorong-lorong batin
Tuhan… keyakinan apa yang Kau berikan atas nama cinta
Semuanya sarat dengan makna tak terbaca
Teguh ini mempertahankan segala yang telah hilang
Tuhan menjanjikan jawaban untuk hamba-Nya yang berdoa
Entah kapan… entah dimana…
Aku terus menunggu sampai
Tuhan menjawabnya
                      

Desire


Sayang,
Kenalilah musim hujan yang basah
Dan kemarau yang meranggaskan daun-daun kering
Di sepanjang hari dalam dua belas purnama
Karna cintaku bersemi di dua musim
Kenalilah gelisah angin diantara buluh-buluh bambu
Yang meliuk kekanan dan meliuk kekiri
Yang gemerisik diantara sunyi
Karena ada bisikan tentang gelisahku
Ketika senja turun di bukit-bukit tak berpenghuni
Ada rona yang dilukiskan pada latar langit
Merah membara dan kadang-kadang lembayung
Kenalilah warnanya yang disapukan dari rinduku
Sayang,
Malam-malam ku adalah catatan tentang cinta
Dinginnya menghangatkan dan member aroma rasa
Aku jejaki purnama yang tenggelam di antara awan
Dan aku ingin terbenam bersama cinta yang kau bawa

Ruinous


Terbangun linglung, kudapati cinta berbuah kebencian
Dipenuhi ratusan ribu nanar
Akupun tenggelam dalam kesangsian akan hari depan
Dalam kalap jiwa yang kau jebak
Kutata muka dan berdiri patahkan rasa
Kenakan busana baru rajutan dendam
Dan penuhi tangki-tangki doa dengan kutukan
Tak kulihat warna selain buram
Setumpuk nilai pun sirna dibenam nafsu
Sungguh aku tertawan dan karam
Dalam lubang sempit bernama kekecewaan



Bosom


Kami empat mata angin bumi
Berlayar kita di lembah suka duka
Menghirup cerita lagu pedih hati meniup tiap sengsara jiwa
Aku,kamu,kamu,dan kamu
Kita seperti pasir isap satu tarikan tali
Kita adalah warna pelangi yang tak tertembus mentari
Kita bagai kumpulan anjing liar pemangsa pagi
Tuhan, aku harap tiada akhir yang aka nada
Seperti salju kutup yang selalu menemani bumi
Seperti ikan laut yang tak kekurangan garam dunia
Aku dan kita kupastikan tiada akhir nanti

2011/01/28

Funeral

Cintamu  pernah berkilauan dibatinku
Seperti bola mata anak kecil
Yang bersih dilambung puisi
Tapi sekarang semua redam
Ia hidup dalam cahaya remang
Tersenyum menjaga rumah di negeri bulan
Siapakah itu yang kemari diantara siluet hujan?
Barangkali rohmu  melayang-layang
Mencari cinta, yang ada dalam genggamanku
Sayangnya kau terlambat, Sayang
cintaku sudah bersemayam dipemakaman

Parade Senja


Seberkas cahaya ku petik di penghujung senja
Berpadu pada warna langit jingga
Tak lupa ku iris sehelai awan muda
Untuk menemanimu membelai purmana
Kemasi persembahanku dalam balutan cinta
Sebelum kereta kencana membawa kita berkelana

Killing Me Softly


Rumah tangga pasangan muda itu semakin lengkap dengan kehadiran malaikat kecil di antara mereka. Dua tahun dalam penantian akhirnya mereka diberi anugerah seorang gadis kecil yang cantik dan menggemaskan. Dia tumbuh menjadi anak yang sehat, pertumbuhannya pun berkembang pesat, mulai dari merangkak, berjalan tertatih-tatih, berlari kecil sampai ia seringkali terjungkal karena keseimbangan yang belum sempurna.

2011/01/27

Street Fighter


Suasana kelas enam riuh seperti pasar,  hiruk pikuk di saat jam pelajaran. Beginilah kondisi kalau tidak ada guru di kelas, semua sibuk dengan aktivits masing-masing, berharap rapat majelis guru berlangsung lama. Sehingga mereka bisa berbuat sesuka hati di dalam lokal tanpa pengawasan guru. Berberapa anak cowok bermain bola di bagian depan dekat papan tulis, yang lain menjadi suporter sambil memekik-mekik menyoraki jagoannya, ada beberapa anak cowok bermain gulat di bagian belakang kelas, mereka meniru aksi pegulat jagoannya yang sering mereka tonton di televisi. Anak perempuan lebih kalem, mereka tidak melakukan aktivitas agresif seperti anak lelaki, membuat satu lingkaran di sudut kelas, ngerumpi layaknya ibu-ibu, tertawa cekikikan hingga memambah hingar-bingar kelas. Aku salah satu dari mereka, sumber suara gaduh.

Hollow

Senyummu adalah gerimis pertama
 yang menyiram kegersangan kalbu
setelah kemarau panjang di awal musim.
Lembab, dingin menelisik jauh ke dasar hati,
melumerkan tiap kepingan darah yang sempat membatu.
Semusim ku dapati dirimu berjungkat-jungkit
dalam jangkar sepi di bawah bias mantari.
 ilalang bisu menatapmu riang
melambai di padang tak bertuan.
Apa gerangan yang kau rengkuah dalam dekapanmu?
 Mataku menangkap ada segumpal hati
 bagai permukaan bulan di sana,
berkawah, penuh lubang terpapar
Wajahmu tersaput kabut samar
Memburatkan bayang hampa
Kedua korneamu bicara mengisyaratkan makna
Ada bilur penyesalan terpantul
Di antara kicauan burung dan desau angin menerpa
Kau  ucapkan namaku perlahan
Seolah sengau dan tak lantang
Nadamu terdengar gamang untuk dilontarkan
Ada semburat keraguan terpancar
Percayalah aku bukan algojo yang akan mencincang jantungmu
Berikan gumpalah hatimu yang cacat itu padaku
Akan ku tutupi palungnya dengan aliran  nadi ini.
Hingga menciptakan hujan merah jambu
membasuh jiwamu yang berkalang luka.  

2011/01/25

Anugerah di Kesempatan Kedua


Dengan jantung berdebar tak karuan  perlahan ku buka akunku di portal akademik kampus, aku klik pada bagian kartu hasi studi dengan jemari sedikit gemetar. Deg, jantungku hampir  berceceran! Alhamdulillah! Sontak aku berteriak dalam hati.  Perjuanganku selama ini membuahkan hasil, meskipun tidak mendapatkan nilai tertinggi, setidaknya aku lulus di mata kuliah ini dengan nilai yang cukup memuaskan. Tiada kata yang pantas ku ucapkan selain rasa syukur yang mendalam atas jawaban Allah terhadap doa-doaku.
Berkutat dengan mata kuliah yang satu ini memang menjadi momok yang menakutkan bagiku. Masalahnya ini adalah kesempatan kedua setelah mengalami kegagalan di semester lalu. Trauma dengan kesadisan dosen yang menghargai perjuanganku dengan nilai serendah itu, aku memutuskan  mengulangnya dengan dosen berbeda. Berharap dosen ini bisa memberikan sistem penilaian yang lebih baik. Aku yakin performaku dalam mata kuliah ini tidak terlalu buruk hingga harus dicela dengan satu kata “gagal”, aku masih memegang pendirian bahwa bukan aku yang terlalu bodoh, namun dosen itu yang tidak mampu menilaiku.

Mist

Hujan menodai cakrawala, kabut memenuhi ladang dengan bayangan biru. Lima merpati putih menanti di atas pohon jati. Semuanya terdiam. Bahkan aku, menanti di bawah langit terbuka, wajahku basah dan muda. Bukan pagi, bukan malam, sesuatu di antara kuda-kuda di bawah sinar matahari.  Belalang bersenandung dalam sinar keemasan. Musim yang begitu hangat, daun-daun lembab merah merebak di tanah. Ini di antara tempat yang diapit oleh biru dan merpati yang menanti. Di sinilah tempat aku menanti di antara masa kanak-kanak dan dewasa, tertidur dan terjaga, tahu dan tidak tahu.

2011/01/24

Reap

Aku tak pernah lelah mengeja hari tanpa sandaran cinta pasti. Banyak kekuatan yang mematriku untuk bertahan dalam lorong sepi. Dalam sunyi aku menuai benih-benih cinta yang siap ku tebar bila sang pemanah telah melesatkan anak panahnya tepat di ulu hati, tempat aku menyimpan sejuta kerinduan yang ku tata rapi. Tidak mudah memang membendung gemuruh hasrat  yang mudah datang kemudian secepat kilat berlalu pergi. Keteguhan membawaku pada tujuan abadi. Akhir penantian sakral yang mati-matian ku jaga di antara dua musim yang datang silih berganti. Meski terpasung waktu, tiada memudarkan asa yang tertancap dalam cengkeraman kepingan cinta yang ku pungut dari lembaran kisah yang tercecer. Ku rangkum semua serpihan itu dalam balutan kain sutera emas yang ku sulam dengan benang termahal yang pernah ada.  Hingga ketika sang waktu mulai menjamah dan memberi tanda pada semesta, saat itu pula ku lepaskan sesuatu yang tersimpan itu pelan-pelan. Membiarkannya terbang membubung tinggi meniti langit. Menjemput takdir, lalu melenggang menuju keabadian.

Moonlight

Mereka bergumul bermandikan cahaya purnama di pertengahan bulan. Menari – nari diiringi desau angin yang mengalunkan melodi picisan. Sepertinya menggairahkan, hingga merelakan tubuh terombang ambing di bawah hentakan nada yang dialunkan similir angin malam. Aku bergeming di balik benteng yang ku bangun dengan sedikit keangkuhan, tiada peduli pada rayuan bulan yang mampu menlenyapkan kepekatan malam. Dengan santai aku tetap meringkuk dalam bilik temaram ditemani jelaga hitam yang membumbung liar menghiasi langit-langit kamar. Desahan dalam balutan derai tawa tidak mampu menggelitikku sedikitpun. Tiada menarik bagiku yang merindui cahaya sejati. Ratusan kali purnama menyembul indah, hanya memberikan semburat harapan kosong di mataku. Aku tak sudi merelakan diri ini terkatung-katung ditunggangi rembulan dengan cahaya maya. Bukankah lebih baik seperti ini, menggantungkan asa pada  sinar abadi.

Catatan Hati di Setiap Sujudku


Membaca buku  Catatan Hati di Setiap Sujudku  (Asma Nadia, dkk ) membuatku merasa ditonjok. Buku yang berisi kisah sejati orang-orang yang memiliki ketabahan luar biasa dalam menjalani ujian dari Allah ini mampu membuatku termenung menyadari kekhilafanku selama ini. Air mataku menetes tanpa sengaja, mendesak ingin keluar tatkala mencerna satu-persatu hubungan mesra yang terjalin antara orang-orang ajaib ini dengan Allah. Mereka berkomunikasi dengan Sang khalik melalui doa yang khusyuk dan tak henti-hentinya.

2011/01/22

Self Esteem

Sungguh sangat mengesalkan ketika kegagalan datang menghampiri, padahal kita sudah berusaha sekuat tenaga untuk mewujudkannya. Namun keadaan berkata lain, ada saja yang menghalanginya, sesuatu yang kita inginkan memang tidak selalu ada ketika kita sangat mengharapkannya. Rasanya menjadi orang yang paling sengsara sedunia kerena kita tidak bisa memperolehnya, padahal perjuangan yang dilakukan tidak sedikit.

Copyright @ Miscellaneous Thoughts | Floral Day theme designed by SimplyWP | Bloggerized by GirlyBlogger | Distributed by: best blogger template personal best blogger magazine theme | cheapest vpn for mac cheap vpn with open ports