Doa Panjang Sabar

Dalam berdoa, pada umumnya kita meminta hal-hal yang wujudnya berada di luar diri kita, tak cepat habis (kalaupun habis langsung kelihatan), dan dapat dinikmati kapan saja. Itulah mengapa kita lebih sering dan banyak meminta hal dengan spesifikasi yang ketat seperti rumah (yang bagus), mobil (yang keren), anak (yang ganteng/cantik), naik haji (yang mabrur), naik kelas (yang ranking), naik jabatan (yang tinggi), istri (yang cantik). Ternyata, tujuan doa kita pun untuk hal yang simple saja: memiliki dan menggunakannya.

Itulah alasan mengapa kita jarang meminta hal-hal yang justru berada di dalam diri kita dan langsung menentukan karakter diri kita. Salah satunya adalah kesabaran. Dalam Al-Quran, ada dua kalimat yang sama bunyinya tentang kesabaran, yaitu: Rabban afrigh alayna shabran...(Al-Baqarah ayat 250 dan Al-A’raf 126). Doa itu bermakna sama: kita memohon agar Allah menganugerahi kita kesabaran. Mengapa Allah mewajibkan kita agar memohon diberikan kesabaran? Karena ternyata sabar adalah potensi yang tidak diproduksi oleh jiwa kita. Seperti vitamin C, kesabaran harus diasup dari luar diri kita, dalam hal ini langsung dari Allah, karena Dia-lah pemilik kesabaran. Kita tak pernah sanggup memproduksi kesabaran, oeh karenanya kta sering mengeluh dan marah; kesabaranku sudah habis!

Persoalannya; kita tak pernah menyadari hal ini, karena doa kita sudah dikerangkeng oleh kepentingan-kepentingan sesaat yangh sangat materialistik. Doa-doa kita lebih sering berisi hitung-hitungan matematis yang mirip kalkulator. Padahal, seluruh isi doa itu sangat berpotensi menimbulkan masalah yang sumber solusinya adalah kesabaran. Jadi, marilah kita memulai untuk mengisi doa-doa kita juga menyertakan permintaan agar Allah menganugerahi kita kesabaran. Jadi, bukan cuma doa panjang rezeki yang kita panjatkan, tapi juga doa panjang sabar.

Muhammad Yulius. Catcil. Annida No.2/XVIII/Oktober 2008

Pori-Pori Jiwa

Dari mana datangnya seluruh kesadaran kita pada hari ini? Mungkin banyak dari kita yang tak begitu memikirkannya; bahwa kapasitas kesadaran dalam diri kita tidak datang secara ujug-ujug. Dia terbentuk oleh lalu lintas keluar masuknya informasi yang melewati pori-pori jiwa kita. Taruhlah, sepuluh tahun yang lalu, kesadaran kita tentang sesuatu berbobot dua kilogram-mungkin terdiri atas sedikit ilmu dan beberapa kebodohan. Namun, saat kita melewati sebuah peristiwa dan ikut merasakannya, volume kesadaran kita bertambah beratnya-mungkin disebabkan oleh masuknya sejumlah ilmu dan leuarnya beberapa kebodohan tersebut.

Jika kita memang memiliki pori-pori, tempat keluar masuknya informasi yang ikut membentuk kesadran kita, yang umumnya terdiri atas dua “makhluk”: ilmu dan kebodohan. Kedua makhluk ini bisa keluar (yang berarti memambah bobot keilmuan kita jika yang keluar itu kebodohan) dan bisa masuk (yang artinya memperberat kebodohan kita jika yang keluar itu ilmu). Keluarnya kebodohan, dalam konteks ini, tentu saja bukanlah karena kebodohan itu ditransfer-apalagi diregenerasikan—melainkan benar-benar lenyap seperti embun pagi yang ditimpa sinar matahari. Dan keluarnya ilmu bukan karena diamalkan kepada orang lain, melainkan justru karena tak pernah diamalkan sama sekali hingga dia pergi, seperti usia tua yang tak mungkin menjadi muda kembali.

Kita menyadari pori-pori jiwa mungkin sebagai rasa sensitif atau peka yang bekerja mencerap informasi saat kita melewati sebuah peristiwa-yang kemudian kita rasakan sebagai inspirasi, ide, gagasan, yang menambah ilmu dan “mendepak” kebodohan-kebodohan kita. Sayangnya, rasa sensitif lebih sering kita gunakan sebagai pertahanan untuk hal-hal yang berkenaan dengan ego-sentris kita.Hasilnya, kita lebih sering tersinggung daripada berpikir untuk bertindak lebih baik dan kreatif.

Muhammad Yulius. Catcil. Annida No.3/XVIII November 2008.

Takut, Sang Pemersatu

Pada mulanya kita menyangka bahwa rasa takut merupakan naluri mendasar sang mangsa. Soiapa saja, sepanjang dalam dirinya bersemayam jiwa mangsa, maka rasa takut menjadi kesimpulan atas rangkaian hari-hari kehidupannya. Pemangsa dari rasa takut salah adalah mustahil-yang menerornya dengan pesimisme yang sadis. Lalu, di tengah kehidupan sang mangsa, rasa takut yang menggayutinya adalah takut gagal. Pemangsa segera menghadangnya dengan kegamangan-bertubu-tubi virus yang menyerang adalah disorientasi kerja. Akhirnya, mangsa benar-benar menemui hal yang ditakutinya, yaitu kenyataan yang telah ditakutinya sejak awal: salah dan gagal. Para pemangsa pun-mustahil, kegamangan, dan disorientasi-bersorak sorai meyakinkan keberhasilan mereka menaklukkan sang mangsa.

Tetapi, ternyata, rasa takut juga dimiliki oleh para pemangsa. Mustahil, misalnya, sangat takut kepada orang-orang yang tak pernah takut untuk berbuat salah ketika memulai sesuati. Orang ini ditakuti sang pemangsa karena optimisme yang dimilikinya tak mempan diteror oleh segala bentuk pesimisme. Ia juga menyebabkan tumbuhnya rasa takut pada diri-kegamangan, yang siap membantinya denga disorientasi tetapi rasa mantap dan fokus calon mangsa telah menbuyarkannya. Para pemangsa tak mampu berbuat apa-apa selain membiarkan orang itu merayakan keberhasilan paling hakiki dalam hidupnya, yaitu menjadi orang yang bebas dari mangsa siapapun.

Tentu ssaja, para mangsa bisa bangkit untuk keluar dari daftar korban para pemangsa. Ia bisa memulainya dengan bertarung melawan rasa takut salah, membunuh kegamangan, dan mendepak disorientasi . Apalagi ketika para mangsa tahu bahwa ternyata para pemangsa  juga punya rasa takut. Mereka akan bangkit dan mulai melakukan perlawanan dengan belajar dari kesalahan, berlatih untuk fokus dan mantap, dan mensyukuri setiap hasil akhir dengan bergairah dalam memperbaiki persentase gagal-berhasilny

Nah, jika rasa takut bisa menjadi pemersatu antara mangsa  dan pemangsa, sudah saatnya  mustahil, gamang, dan disorientasi dianggap sebagai makhluk biasa. Artinya, mangsa bisa berdampingan dengan pemangsa, tanpa saling menganggap istimewa.

Muhammad Yulius. Catcil. Annida No.7/XVI/ 15 Maret - 15 April 2007.

Rasa Memiliki

Tanpa sepotong pun bukti keterlibatan kita dalam proses penciptaan alam raya dan isinya ini, dapatkah kita mengklaim bahwa kita berhak memiliki sesuati yang berada di dalamnya? Tentu tidak. Tetapi, keperluan memuliakan manusia, Allah menciptakan rasa memiliki dalam diri kita. Tentu saja, rasa memiliki tidak sama dengan memiliki-yang kemudian dikonotasikan sebagai menguasai, mengatur, mengendalikan. Oleh karena itu, rasa memiliki bersifat fana; seperti makhluk hidup, ia dapat tumbuh, berkembang, atau bisa juga mati-baik secara perlahan-lahan maupun mendadak.

Rasa memiliki yang tumbuh dengan baik, dapat mengiriang kita untuk menyadari bahwa dalam konteks kita, memiliki adalah sekedar rasa, alih-alih, atau bahkan artifisial. Secara alamiah, kita merasakan buktinya melalui peristiwa yang mengharuskan kita berpisah untuk selama-lamanya dengan makhluk yang kita beri rasa untuk memilikinya, misalnya kematian orang tua. Sekeras apapun isak tangis kita, hal itu tidak dapat mengubah fakta bahwa kita harus berpisah dengan orang tua-dengan fakta lanjutan bahwa kematian orang tua menandakan bahwa ia bukan milik kita. 

Sebaliknya jika rasa memiliki mati secara diam-diam, kita akan merasakan bahwa kita tidak memilki siapapun, termasuk diri kita sendiri. Kita tidak memiliki ibu, bapak, adik, teman, saudara, karena rasa memilki terhadap mereka tak pernah kita pupuk untuk tumbuh dengan subur. Bahkan, rasa memiliki terhadap diri sendiri pelan-pelan menjelma menjadi keinginan untuk menghancurkan apa saja tentang diri kita. Itulah alasan mengapa ada orang yang rela menghancurkan dirinya sendiri dengan narkoba.

Pada akhirnya, rasa memiliki adalah jembatan yang menghubungkan antara diri kita dengan begitu banyak bukti kekuasaan Tuhan. Kitab dan bukti-bukti kekuasaan-Nya itu dihubungkan untuk saling menguatkan posisi masing-masing sebagai simbol kehebatan-Nya. So, kita akhirnya mahfum bahwa tanpa rasa memiliki, kita tak akan pernah menyadari bahwa untuk sekadar merasa kehilangan saja, kita membutuhkan pertolongan-Nya--karena seperti juga rasa memiliki, rasa kehilang adalah anugerah-Nya.

Muhammad Yuliaus. Catcil. Annida No.4/XVII Desember 2007.

Yang Aku Tahu Allah Bersamaku

Nuh bersipayah membuat kapal di puncak bukit tentu saja harus menahan geram ketika ditertawai, diganggu, dan dirusuh oleh kaumnya. Tetapi, sesudah hampir lima ratus tahun mengemban risalah dengan pengikut yang nyaris tak bertambah, nuh berkata dengan bijak, dengan cinta. “Kelak kami akan menertawai kalian sebagaimana kalian menertawai kami kini.

Ya, Nuh belum tahu bahwa kemudian banjir akan tumpah. Tercurah dari celah langit, terpancar dari rengkah bumi. Air meluap dari tungkunya orang membuat roti dan mengepung setinggi gunung. Nuh belum tahu. Yang ia tahu adalah ketika dia laksanakan perintah rabbnya, maka Allah bersamanya. Dan alangkah cukup itu baginya.

Ibrahim yang bermimpi, dia juga tak pernah tahu apa yang akan terjadi saat ia benar-benar menyembelih putra tercinta. Anak itu, yang lama dirindukannya, yang dia nanti dengan harap dan mata gerimis di tiap doa, tiba-tiba dititahkan untuk dipisahkan dari dirinya. Dulu ketika lahir dia dipisahkan dengan ditinggal di lembah Bakkah yang tak bertanaman, tak berhewan, tak bertuan. Kini Ismail harus dibunuh. Bukan oleh orang lain. Tapi oleh tangannya sendiri.

Dibaringkan sang putra yang pasrah dalam taqwa. Dan ayah mana yang sanggup membuka mata ketika harus mengayau leher sang putera dengan pisau? Ayah mana yang sanggup mengalirkan darah di bawah kepala yang biasa dibelainya sambil tetap menatap wajahnya? Tidak. Ibrahim terpejam. Dan dia melakukannya! Ia melakukannya meski belum tahu bahwa seekor domba besar akan menggantikan sang korban. Yang diketahuinya saat itu bahwa dia diperintah Tuhannya. Yang ia tahu adalah ketika dia laksanakan perintah Rabbnya, maka Allah bersamanya. Dan alangkah cukup itu baginya.

Musa juga menemukan jalan buntu, terantuk Laut Merah dalam kejaran Firaun. Bani Israil yang dipimpinnya sudah riuh tercekam panik. “Kita pasti tersusul!”, kata mereka. “Tidak!”, seru Musa. “Sekali-kali tidak akan tersusul! Sesungguhnya Rabbku bersamaku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” Petunjuk itu pun datang. Musa diperintahkan memukulkan tongkatnya ke laut. Nalar tanpa iman berkata.”Apa gunanya? Lebih baik dipikulkan ke kepala Firaun!” Ya, bahkan Musa pun belum tahu bahwa lautan akan terbelah kemudian. Yang dia tahu Allah bersamanya. Dan itu cukup baginya.

Merekalah para guru sejati. Yang kisahnya membuat punggung kita tegak, dada kita lapang, dan hati berseri-seri. Yang keteguhannya memancar memerangi. Yang keagungannya lahir dari iman yang kukuh, bergerun mengatasi gejolak hati dan nafsu diri. Di jalan cinta para pejuang iman melahirkan keajaiban., lalu keajaiban menguatkan iman. Semua itu terasa lebih indah karena terjadi dalam kejutan-kejutan. Yang kita tahu hanyalah, “ Allah bersamaku, Ia akan memberi petunjuk kepadaku.”

Nuh belum tahu bahwa banjir nanti tumpah ketika di gunung ia menggalang kapal dan ditertawai.
Ibarahim belum tahu bahwa akan tercawis domba ketika pisaunya nyaris memapas buah hatinya.
Musa belum tahu bahwa lautan akan terbelah saat ia diperintahkan memukulkan tongkat.
Di Badar Muhammad berkata, bahunya terguncang isak. “ Andai pasukan ini kalah, Kau tak lagi disembah!”

Dan kita pun belajar, alangkah agungnya iman.   

Jalan Cinta Para Pejuang. Salim A. Fillah

Membendung Abrasi

Tiap detik dalam waktu kita , laut tak pernah henti mengirimkan ombaknya ke tepi pantai. Siapa yang bisa menghentikannya? Tiada kecuali Tuhan. Maka yang kita terima dari ketiadaan itu adalah abrasi, pengikisan yang berlangsung secara perlahan namun pasti. Daratan kita lenyap dalam diam. Gerusan ombak itu menghasilkan ekspansi kekuatan lautan atas daratan, tak terhitung rembesan garamnya yang telah mengasinkan air tanah dengan radius yang jauh. Kita hanya ternganga, dan tak ada yang bisa kita perbuat, kecuali menerimanya sebagai peristiwa alamiah saja.

Inilah ibarat yang bisa kita pakai untuk memaknai betapa kuasanya media syahwat itu atas daratan kesadaran hidup kita. Mereka menggempur tiap detik dalam waktu kita, lewat pojok gelap keseharian kita; VCD; tabloid, situs, majalah, film... lalu apa yang kita terima dari ketiadahentian itu, juga adalah abrasi, pengikisan moralitas yang berlangsung secara perlahan tapi pasti. Daratan kesadaran kita bergeser dalam diam, dalam kontroversi , dalam kemunafikan, dalam taubat yang lambat. Gerusan media syahwat itu menghasilkan ekspansi kekuatan kejahatan kapitalistik yang terencana atas kebaikan yang daif dan compang-camping, tak terhitung rembesan pengaruhnya yang telah menumbangkan tunas-tunas muda dalam pusaran mahadahsyat lost generation, dalam radius gapai yang makin jauh; bahkan anak-anak usia SD telah fasih mempertontonkan adegan birahi dalam cadel mulutnya, kemayu gaya, dan kegiatan seks "kecil-kecilan" mereka.

Nah, siapakah yang dapat menghentikan laju gerusan yang tak terbendung ini?Mestinya kita semua, jika mengingat bahwa membendung abrasi adalah tindakan yang sama sejatinya dengan perang hak-batil yang baru berakhir setelah kehidupan di dunia ini dibubarkan. Kebaikan harus menjadi kekuatan kapitalistik terencana, dalam arti ia dibiayaidan dipikirkan secara profesional. tanpa begitu, akan makin banyak orang yang menjadi hancur dalam diam, dan makin sedikit orang yang menjadibaik-dalam kelelahan berjibaku dengan gerusan abrasi lautan kejahatan.

Iyus. Catcil. Annida No.7/XV/15 Maret - 15 April 2006.

2015/04/07

Doa Panjang Sabar

Dalam berdoa, pada umumnya kita meminta hal-hal yang wujudnya berada di luar diri kita, tak cepat habis (kalaupun habis langsung kelihatan), dan dapat dinikmati kapan saja. Itulah mengapa kita lebih sering dan banyak meminta hal dengan spesifikasi yang ketat seperti rumah (yang bagus), mobil (yang keren), anak (yang ganteng/cantik), naik haji (yang mabrur), naik kelas (yang ranking), naik jabatan (yang tinggi), istri (yang cantik). Ternyata, tujuan doa kita pun untuk hal yang simple saja: memiliki dan menggunakannya.

Itulah alasan mengapa kita jarang meminta hal-hal yang justru berada di dalam diri kita dan langsung menentukan karakter diri kita. Salah satunya adalah kesabaran. Dalam Al-Quran, ada dua kalimat yang sama bunyinya tentang kesabaran, yaitu: Rabban afrigh alayna shabran...(Al-Baqarah ayat 250 dan Al-A’raf 126). Doa itu bermakna sama: kita memohon agar Allah menganugerahi kita kesabaran. Mengapa Allah mewajibkan kita agar memohon diberikan kesabaran? Karena ternyata sabar adalah potensi yang tidak diproduksi oleh jiwa kita. Seperti vitamin C, kesabaran harus diasup dari luar diri kita, dalam hal ini langsung dari Allah, karena Dia-lah pemilik kesabaran. Kita tak pernah sanggup memproduksi kesabaran, oeh karenanya kta sering mengeluh dan marah; kesabaranku sudah habis!

Persoalannya; kita tak pernah menyadari hal ini, karena doa kita sudah dikerangkeng oleh kepentingan-kepentingan sesaat yangh sangat materialistik. Doa-doa kita lebih sering berisi hitung-hitungan matematis yang mirip kalkulator. Padahal, seluruh isi doa itu sangat berpotensi menimbulkan masalah yang sumber solusinya adalah kesabaran. Jadi, marilah kita memulai untuk mengisi doa-doa kita juga menyertakan permintaan agar Allah menganugerahi kita kesabaran. Jadi, bukan cuma doa panjang rezeki yang kita panjatkan, tapi juga doa panjang sabar.

Muhammad Yulius. Catcil. Annida No.2/XVIII/Oktober 2008

Pori-Pori Jiwa

Dari mana datangnya seluruh kesadaran kita pada hari ini? Mungkin banyak dari kita yang tak begitu memikirkannya; bahwa kapasitas kesadaran dalam diri kita tidak datang secara ujug-ujug. Dia terbentuk oleh lalu lintas keluar masuknya informasi yang melewati pori-pori jiwa kita. Taruhlah, sepuluh tahun yang lalu, kesadaran kita tentang sesuatu berbobot dua kilogram-mungkin terdiri atas sedikit ilmu dan beberapa kebodohan. Namun, saat kita melewati sebuah peristiwa dan ikut merasakannya, volume kesadaran kita bertambah beratnya-mungkin disebabkan oleh masuknya sejumlah ilmu dan leuarnya beberapa kebodohan tersebut.

Jika kita memang memiliki pori-pori, tempat keluar masuknya informasi yang ikut membentuk kesadran kita, yang umumnya terdiri atas dua “makhluk”: ilmu dan kebodohan. Kedua makhluk ini bisa keluar (yang berarti memambah bobot keilmuan kita jika yang keluar itu kebodohan) dan bisa masuk (yang artinya memperberat kebodohan kita jika yang keluar itu ilmu). Keluarnya kebodohan, dalam konteks ini, tentu saja bukanlah karena kebodohan itu ditransfer-apalagi diregenerasikan—melainkan benar-benar lenyap seperti embun pagi yang ditimpa sinar matahari. Dan keluarnya ilmu bukan karena diamalkan kepada orang lain, melainkan justru karena tak pernah diamalkan sama sekali hingga dia pergi, seperti usia tua yang tak mungkin menjadi muda kembali.

Kita menyadari pori-pori jiwa mungkin sebagai rasa sensitif atau peka yang bekerja mencerap informasi saat kita melewati sebuah peristiwa-yang kemudian kita rasakan sebagai inspirasi, ide, gagasan, yang menambah ilmu dan “mendepak” kebodohan-kebodohan kita. Sayangnya, rasa sensitif lebih sering kita gunakan sebagai pertahanan untuk hal-hal yang berkenaan dengan ego-sentris kita.Hasilnya, kita lebih sering tersinggung daripada berpikir untuk bertindak lebih baik dan kreatif.

Muhammad Yulius. Catcil. Annida No.3/XVIII November 2008.

2015/04/04

Takut, Sang Pemersatu

Pada mulanya kita menyangka bahwa rasa takut merupakan naluri mendasar sang mangsa. Soiapa saja, sepanjang dalam dirinya bersemayam jiwa mangsa, maka rasa takut menjadi kesimpulan atas rangkaian hari-hari kehidupannya. Pemangsa dari rasa takut salah adalah mustahil-yang menerornya dengan pesimisme yang sadis. Lalu, di tengah kehidupan sang mangsa, rasa takut yang menggayutinya adalah takut gagal. Pemangsa segera menghadangnya dengan kegamangan-bertubu-tubi virus yang menyerang adalah disorientasi kerja. Akhirnya, mangsa benar-benar menemui hal yang ditakutinya, yaitu kenyataan yang telah ditakutinya sejak awal: salah dan gagal. Para pemangsa pun-mustahil, kegamangan, dan disorientasi-bersorak sorai meyakinkan keberhasilan mereka menaklukkan sang mangsa.

Tetapi, ternyata, rasa takut juga dimiliki oleh para pemangsa. Mustahil, misalnya, sangat takut kepada orang-orang yang tak pernah takut untuk berbuat salah ketika memulai sesuati. Orang ini ditakuti sang pemangsa karena optimisme yang dimilikinya tak mempan diteror oleh segala bentuk pesimisme. Ia juga menyebabkan tumbuhnya rasa takut pada diri-kegamangan, yang siap membantinya denga disorientasi tetapi rasa mantap dan fokus calon mangsa telah menbuyarkannya. Para pemangsa tak mampu berbuat apa-apa selain membiarkan orang itu merayakan keberhasilan paling hakiki dalam hidupnya, yaitu menjadi orang yang bebas dari mangsa siapapun.

Tentu ssaja, para mangsa bisa bangkit untuk keluar dari daftar korban para pemangsa. Ia bisa memulainya dengan bertarung melawan rasa takut salah, membunuh kegamangan, dan mendepak disorientasi . Apalagi ketika para mangsa tahu bahwa ternyata para pemangsa  juga punya rasa takut. Mereka akan bangkit dan mulai melakukan perlawanan dengan belajar dari kesalahan, berlatih untuk fokus dan mantap, dan mensyukuri setiap hasil akhir dengan bergairah dalam memperbaiki persentase gagal-berhasilny

Nah, jika rasa takut bisa menjadi pemersatu antara mangsa  dan pemangsa, sudah saatnya  mustahil, gamang, dan disorientasi dianggap sebagai makhluk biasa. Artinya, mangsa bisa berdampingan dengan pemangsa, tanpa saling menganggap istimewa.

Muhammad Yulius. Catcil. Annida No.7/XVI/ 15 Maret - 15 April 2007.

2015/04/03

Rasa Memiliki

Tanpa sepotong pun bukti keterlibatan kita dalam proses penciptaan alam raya dan isinya ini, dapatkah kita mengklaim bahwa kita berhak memiliki sesuati yang berada di dalamnya? Tentu tidak. Tetapi, keperluan memuliakan manusia, Allah menciptakan rasa memiliki dalam diri kita. Tentu saja, rasa memiliki tidak sama dengan memiliki-yang kemudian dikonotasikan sebagai menguasai, mengatur, mengendalikan. Oleh karena itu, rasa memiliki bersifat fana; seperti makhluk hidup, ia dapat tumbuh, berkembang, atau bisa juga mati-baik secara perlahan-lahan maupun mendadak.

Rasa memiliki yang tumbuh dengan baik, dapat mengiriang kita untuk menyadari bahwa dalam konteks kita, memiliki adalah sekedar rasa, alih-alih, atau bahkan artifisial. Secara alamiah, kita merasakan buktinya melalui peristiwa yang mengharuskan kita berpisah untuk selama-lamanya dengan makhluk yang kita beri rasa untuk memilikinya, misalnya kematian orang tua. Sekeras apapun isak tangis kita, hal itu tidak dapat mengubah fakta bahwa kita harus berpisah dengan orang tua-dengan fakta lanjutan bahwa kematian orang tua menandakan bahwa ia bukan milik kita. 

Sebaliknya jika rasa memiliki mati secara diam-diam, kita akan merasakan bahwa kita tidak memilki siapapun, termasuk diri kita sendiri. Kita tidak memiliki ibu, bapak, adik, teman, saudara, karena rasa memilki terhadap mereka tak pernah kita pupuk untuk tumbuh dengan subur. Bahkan, rasa memiliki terhadap diri sendiri pelan-pelan menjelma menjadi keinginan untuk menghancurkan apa saja tentang diri kita. Itulah alasan mengapa ada orang yang rela menghancurkan dirinya sendiri dengan narkoba.

Pada akhirnya, rasa memiliki adalah jembatan yang menghubungkan antara diri kita dengan begitu banyak bukti kekuasaan Tuhan. Kitab dan bukti-bukti kekuasaan-Nya itu dihubungkan untuk saling menguatkan posisi masing-masing sebagai simbol kehebatan-Nya. So, kita akhirnya mahfum bahwa tanpa rasa memiliki, kita tak akan pernah menyadari bahwa untuk sekadar merasa kehilangan saja, kita membutuhkan pertolongan-Nya--karena seperti juga rasa memiliki, rasa kehilang adalah anugerah-Nya.

Muhammad Yuliaus. Catcil. Annida No.4/XVII Desember 2007.

Yang Aku Tahu Allah Bersamaku

Nuh bersipayah membuat kapal di puncak bukit tentu saja harus menahan geram ketika ditertawai, diganggu, dan dirusuh oleh kaumnya. Tetapi, sesudah hampir lima ratus tahun mengemban risalah dengan pengikut yang nyaris tak bertambah, nuh berkata dengan bijak, dengan cinta. “Kelak kami akan menertawai kalian sebagaimana kalian menertawai kami kini.

Ya, Nuh belum tahu bahwa kemudian banjir akan tumpah. Tercurah dari celah langit, terpancar dari rengkah bumi. Air meluap dari tungkunya orang membuat roti dan mengepung setinggi gunung. Nuh belum tahu. Yang ia tahu adalah ketika dia laksanakan perintah rabbnya, maka Allah bersamanya. Dan alangkah cukup itu baginya.

Ibrahim yang bermimpi, dia juga tak pernah tahu apa yang akan terjadi saat ia benar-benar menyembelih putra tercinta. Anak itu, yang lama dirindukannya, yang dia nanti dengan harap dan mata gerimis di tiap doa, tiba-tiba dititahkan untuk dipisahkan dari dirinya. Dulu ketika lahir dia dipisahkan dengan ditinggal di lembah Bakkah yang tak bertanaman, tak berhewan, tak bertuan. Kini Ismail harus dibunuh. Bukan oleh orang lain. Tapi oleh tangannya sendiri.

Dibaringkan sang putra yang pasrah dalam taqwa. Dan ayah mana yang sanggup membuka mata ketika harus mengayau leher sang putera dengan pisau? Ayah mana yang sanggup mengalirkan darah di bawah kepala yang biasa dibelainya sambil tetap menatap wajahnya? Tidak. Ibrahim terpejam. Dan dia melakukannya! Ia melakukannya meski belum tahu bahwa seekor domba besar akan menggantikan sang korban. Yang diketahuinya saat itu bahwa dia diperintah Tuhannya. Yang ia tahu adalah ketika dia laksanakan perintah Rabbnya, maka Allah bersamanya. Dan alangkah cukup itu baginya.

Musa juga menemukan jalan buntu, terantuk Laut Merah dalam kejaran Firaun. Bani Israil yang dipimpinnya sudah riuh tercekam panik. “Kita pasti tersusul!”, kata mereka. “Tidak!”, seru Musa. “Sekali-kali tidak akan tersusul! Sesungguhnya Rabbku bersamaku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” Petunjuk itu pun datang. Musa diperintahkan memukulkan tongkatnya ke laut. Nalar tanpa iman berkata.”Apa gunanya? Lebih baik dipikulkan ke kepala Firaun!” Ya, bahkan Musa pun belum tahu bahwa lautan akan terbelah kemudian. Yang dia tahu Allah bersamanya. Dan itu cukup baginya.

Merekalah para guru sejati. Yang kisahnya membuat punggung kita tegak, dada kita lapang, dan hati berseri-seri. Yang keteguhannya memancar memerangi. Yang keagungannya lahir dari iman yang kukuh, bergerun mengatasi gejolak hati dan nafsu diri. Di jalan cinta para pejuang iman melahirkan keajaiban., lalu keajaiban menguatkan iman. Semua itu terasa lebih indah karena terjadi dalam kejutan-kejutan. Yang kita tahu hanyalah, “ Allah bersamaku, Ia akan memberi petunjuk kepadaku.”

Nuh belum tahu bahwa banjir nanti tumpah ketika di gunung ia menggalang kapal dan ditertawai.
Ibarahim belum tahu bahwa akan tercawis domba ketika pisaunya nyaris memapas buah hatinya.
Musa belum tahu bahwa lautan akan terbelah saat ia diperintahkan memukulkan tongkat.
Di Badar Muhammad berkata, bahunya terguncang isak. “ Andai pasukan ini kalah, Kau tak lagi disembah!”

Dan kita pun belajar, alangkah agungnya iman.   

Jalan Cinta Para Pejuang. Salim A. Fillah

Membendung Abrasi

Tiap detik dalam waktu kita , laut tak pernah henti mengirimkan ombaknya ke tepi pantai. Siapa yang bisa menghentikannya? Tiada kecuali Tuhan. Maka yang kita terima dari ketiadaan itu adalah abrasi, pengikisan yang berlangsung secara perlahan namun pasti. Daratan kita lenyap dalam diam. Gerusan ombak itu menghasilkan ekspansi kekuatan lautan atas daratan, tak terhitung rembesan garamnya yang telah mengasinkan air tanah dengan radius yang jauh. Kita hanya ternganga, dan tak ada yang bisa kita perbuat, kecuali menerimanya sebagai peristiwa alamiah saja.

Inilah ibarat yang bisa kita pakai untuk memaknai betapa kuasanya media syahwat itu atas daratan kesadaran hidup kita. Mereka menggempur tiap detik dalam waktu kita, lewat pojok gelap keseharian kita; VCD; tabloid, situs, majalah, film... lalu apa yang kita terima dari ketiadahentian itu, juga adalah abrasi, pengikisan moralitas yang berlangsung secara perlahan tapi pasti. Daratan kesadaran kita bergeser dalam diam, dalam kontroversi , dalam kemunafikan, dalam taubat yang lambat. Gerusan media syahwat itu menghasilkan ekspansi kekuatan kejahatan kapitalistik yang terencana atas kebaikan yang daif dan compang-camping, tak terhitung rembesan pengaruhnya yang telah menumbangkan tunas-tunas muda dalam pusaran mahadahsyat lost generation, dalam radius gapai yang makin jauh; bahkan anak-anak usia SD telah fasih mempertontonkan adegan birahi dalam cadel mulutnya, kemayu gaya, dan kegiatan seks "kecil-kecilan" mereka.

Nah, siapakah yang dapat menghentikan laju gerusan yang tak terbendung ini?Mestinya kita semua, jika mengingat bahwa membendung abrasi adalah tindakan yang sama sejatinya dengan perang hak-batil yang baru berakhir setelah kehidupan di dunia ini dibubarkan. Kebaikan harus menjadi kekuatan kapitalistik terencana, dalam arti ia dibiayaidan dipikirkan secara profesional. tanpa begitu, akan makin banyak orang yang menjadi hancur dalam diam, dan makin sedikit orang yang menjadibaik-dalam kelelahan berjibaku dengan gerusan abrasi lautan kejahatan.

Iyus. Catcil. Annida No.7/XV/15 Maret - 15 April 2006.

Copyright @ Miscellaneous Thoughts | Floral Day theme designed by SimplyWP | Bloggerized by GirlyBlogger | Distributed by: best blogger template personal best blogger magazine theme | cheapest vpn for mac cheap vpn with open ports