Tahun terakhir kuliah menjadi ajang kumpul-kumpul yang lebih intens bagi saya dan teman-tema kuliah. Karena tidak lama lagi masing-masing dari kita mau tidak mau harus meninggalkan kampus tercinta. Dan tentu saja kebersamaan yang telah terjalalin hampir empat tahun akan segera usai. Sekarang aja udah ada dari beberapa teman seangkatan yang wisuda, walaupun gak banyak sih, tapi tetap membuktikan bahwa dari angkatan kita tetap ada yang melejit, tamat dengan predikat summa cum laude. Bahkan ada beberapa orang teman yang sudah punya kursi di dunia kerja, meskipun mereka belum tamat. Mereka berhasil menaklukkan tes masuk Price Waterhaouse Coopers (PWC), salah satu dari empat kantor akuntan publik terbesar di dunia. Keberuntungan-keberuntungan yang menjadi idaman setiap mahasiswa dimana pun, termasuk saya.
Saya punya mimpi dalam hidup. Sangat banyak. Tak perlu dirinci, karena kasihan jari ini mengeja sejuta impian yang bersemanyam di kepala. Sepertinya tidak patut pula saya ceritakan pada orang-orang tentang mimpi yang terus menghantui hari-hari saya. Mungkin saja mereka akan mencela, mengatai sebagai tukang khayal, bahkan menuduh saya kurang waras.
Tapi ini bukan hanya fantasi belaka. Bukan pula bunga tidur yang dilupakan setelah terbangun. Imajinasi liar saya tumbuh seolah-olah nyata dan terus tumbuh dalam jiwa dan raga. Tidak sekedar mimpi, tapi sebuah harapan yang menjadi tujuan hidup. Bagaimana mungkin membinasakanya. Kalau kebahagiaan saya melekat pada asa. Ruh saya seperti sudah menyatu dengan mimpi-mimpi. Apalah arti perjalanan tanpa suatu tujuan. Tak bisa saya bayangkan betapa hampa dan kosongnya hidup saya tanpa sebuah cita. Denyut hidup saya lebih terasa berdetak dengan adanya obsesi. Kehidupan saya menjadi terasa begitu bergairah.
Namaku Juli. Tepat pertengahan bulan ketujuh kala itu aku berulang tahun yang sepuluh. Seperti biasa, tak pernah ada kado, lilin, kue, nyanyian, pesta, bahkan ucapan selamat ulang tahun. Tapi aku selalu bahagia. Aku merayakannya sendiri dalam hati sambil berpesta dengan Tuhan. Aku tahu Tuhan bersamaku, meski orang-orang melupakan momen pertama kali aku menyapa dunia bahkan hampir melupakan keberadaanku. Kulalui dengan senang hati.
Namun, kali ini tak lagi aku gembira. Kesedihan menyelimuti hariku. Ulang tahun terpahit yang pernah aku lalui. Kata bu guru, raporku kebakaran.Aku tinggal kelas! Oh alangkah bodohnya diriku. Apa kata papa nanti? Pasti beliau kecewa lagi. Ingin aku bicara dengan papa dan menjelaskan duduk perkaranya. Kutunggu papa didepan pintu hingga penghujung senja. Beliu tak muncul. Sampai malam papa tak jua datang.
Tengah malam bagai mimpi buruk aku tersentak mendengar suara bariton lelaki yang kucintai. Dia berteriak-teriak sambil mengemasi pakaiannya, dan kulihat mama menangis di sudut kamar setelah mereka bertengkar hebat. Dengan tangis terisak kusaksikan papa melesat hilang ditelan malam. Papa meninggalkanku, meninggalkan adik-adik, meninggalkan mama. Betapa jerinya hatiku. Papa pergi! Tak kujumpai lagi papa sejak malam itu. Aku rasa dibuang.
Putri kecil hapus laramu. Hidup terkadang pahit, tapi kamu bisa membuatnya manis dengan lirih do’a yang kau untai dalam sujudmu. Sebelum tidur, jangan lupa selipkan mimpimu di bawah bantal, karena ibu peri masih setia mengirimkannya ke langit. Hingga Tuhan menjadikannya nyata.
Tahun terakhir kuliah menjadi ajang kumpul-kumpul yang lebih intens bagi saya dan teman-tema kuliah. Karena tidak lama lagi masing-masing dari kita mau tidak mau harus meninggalkan kampus tercinta. Dan tentu saja kebersamaan yang telah terjalalin hampir empat tahun akan segera usai. Sekarang aja udah ada dari beberapa teman seangkatan yang wisuda, walaupun gak banyak sih, tapi tetap membuktikan bahwa dari angkatan kita tetap ada yang melejit, tamat dengan predikat summa cum laude. Bahkan ada beberapa orang teman yang sudah punya kursi di dunia kerja, meskipun mereka belum tamat. Mereka berhasil menaklukkan tes masuk Price Waterhaouse Coopers (PWC), salah satu dari empat kantor akuntan publik terbesar di dunia. Keberuntungan-keberuntungan yang menjadi idaman setiap mahasiswa dimana pun, termasuk saya.
Saya punya mimpi dalam hidup. Sangat banyak. Tak perlu dirinci, karena kasihan jari ini mengeja sejuta impian yang bersemanyam di kepala. Sepertinya tidak patut pula saya ceritakan pada orang-orang tentang mimpi yang terus menghantui hari-hari saya. Mungkin saja mereka akan mencela, mengatai sebagai tukang khayal, bahkan menuduh saya kurang waras.
Tapi ini bukan hanya fantasi belaka. Bukan pula bunga tidur yang dilupakan setelah terbangun. Imajinasi liar saya tumbuh seolah-olah nyata dan terus tumbuh dalam jiwa dan raga. Tidak sekedar mimpi, tapi sebuah harapan yang menjadi tujuan hidup. Bagaimana mungkin membinasakanya. Kalau kebahagiaan saya melekat pada asa. Ruh saya seperti sudah menyatu dengan mimpi-mimpi. Apalah arti perjalanan tanpa suatu tujuan. Tak bisa saya bayangkan betapa hampa dan kosongnya hidup saya tanpa sebuah cita. Denyut hidup saya lebih terasa berdetak dengan adanya obsesi. Kehidupan saya menjadi terasa begitu bergairah.
Namaku Juli. Tepat pertengahan bulan ketujuh kala itu aku berulang tahun yang sepuluh. Seperti biasa, tak pernah ada kado, lilin, kue, nyanyian, pesta, bahkan ucapan selamat ulang tahun. Tapi aku selalu bahagia. Aku merayakannya sendiri dalam hati sambil berpesta dengan Tuhan. Aku tahu Tuhan bersamaku, meski orang-orang melupakan momen pertama kali aku menyapa dunia bahkan hampir melupakan keberadaanku. Kulalui dengan senang hati.
Namun, kali ini tak lagi aku gembira. Kesedihan menyelimuti hariku. Ulang tahun terpahit yang pernah aku lalui. Kata bu guru, raporku kebakaran.Aku tinggal kelas! Oh alangkah bodohnya diriku. Apa kata papa nanti? Pasti beliau kecewa lagi. Ingin aku bicara dengan papa dan menjelaskan duduk perkaranya. Kutunggu papa didepan pintu hingga penghujung senja. Beliu tak muncul. Sampai malam papa tak jua datang.
Tengah malam bagai mimpi buruk aku tersentak mendengar suara bariton lelaki yang kucintai. Dia berteriak-teriak sambil mengemasi pakaiannya, dan kulihat mama menangis di sudut kamar setelah mereka bertengkar hebat. Dengan tangis terisak kusaksikan papa melesat hilang ditelan malam. Papa meninggalkanku, meninggalkan adik-adik, meninggalkan mama. Betapa jerinya hatiku. Papa pergi! Tak kujumpai lagi papa sejak malam itu. Aku rasa dibuang.
Putri kecil hapus laramu. Hidup terkadang pahit, tapi kamu bisa membuatnya manis dengan lirih do’a yang kau untai dalam sujudmu. Sebelum tidur, jangan lupa selipkan mimpimu di bawah bantal, karena ibu peri masih setia mengirimkannya ke langit. Hingga Tuhan menjadikannya nyata.
Thank's for visiting my blog. Just feel free to comment, even you just wanna say hi, or exchange links with me. Please follow my blog if you like it. Then, i'll do the same. ;)