Seputih salju yang jatuh menuruni lereng bukit berbatu. Malam dimana kau berjalan dengan langkah tuamu, lelah kau pikul segala penderitaan milikku. Engkaulah makna yang tersimpan, diantara ribuan cahaya kecil yang beterbangan menuju surga. Berkelip, meredup, berpendar. Tak hirau akan keindahan, bagimu kebahagiaan ialah nafasku. Terus kau sampirkan luka itu, meski darahmu berceceran sepanjang jalan bersalju.
Mengapa aku pergi? Sebab aku punya ini, sebab kutahu aku bukanlah mimpi. Aku hanya kunang-kunang yang tersesat diantara mawar berduri, kemudian lenganmu yang selembut melati mengangkatku tinggi-tinggi. Membawaku terbang mengusap bintang, yang pada akhirnya ialah air matamu, Ayah.
Ayah, aku bukanlah harapan yang sepantasnya, Berhentilah memelukku kali ini saja, biarkan aku pergi sebab aku telah usai. Kan kubuaikan harapan baru kedalam haru hatimu, kemudian biarkan ia dewasa, dan menggantikanku selamanya. Biarlah apa yang terjadi menjadi aku, sedang yang kau inginkan menjadi bias harapan baru.
Aku lilin kecil yang telah membakar habis do’amu, kobaran api yang menghanguskan rasa percayamu. Aku adalah debu yang mengaburkan bening matamu, jua hitam yang melegamkan jalan akan tasbih cintamu. Aku tak patut dipertanyakan, aku hanya ingin berbakti. Sungguh tak dapat kutemukan, sebab dunia telah berubah. Betapa ingin aku lari, atau setidaknya kembali. Agar tiada pernah bulir itu menganak sungai di kedua pipimu.
Ayah, aku bukanlah keindahan yang bisa meninabobokan lautan. Aku bukanlah embun yang memberi rumah kecil kita sebuah kehidupan. Aku tak pernah menghentikan lelahmu, tak pernah membuatmu tersenyum selamanya. Andai nyawa bisa kuberi, maka telah lama jiwa ini kupersembahkan dalam dekapmu, Ayah. Telah lama jiwa ini kuhaturkan diatas pangkuanmu, Ayah. Biarlah berakhir perjalananku dalam salju ini, dan Ayah takkan terluka lagi. Hingga kutemukan pelipur gulanamu. Tidak lama lagi, Ayah. Aku hampir meraihnya.
0 comments:
Post a Comment