Namaku Juli. Tepat pertengahan bulan ketujuh kala itu aku berulang tahun yang sepuluh. Seperti biasa, tak pernah ada kado, lilin, kue, nyanyian, pesta, bahkan ucapan selamat ulang tahun. Tapi aku selalu bahagia. Aku merayakannya sendiri dalam hati sambil berpesta dengan Tuhan. Aku tahu Tuhan bersamaku, meski orang-orang melupakan momen pertama kali aku menyapa dunia bahkan hampir melupakan keberadaanku. Kulalui dengan senang hati.
Namun, kali ini tak lagi aku gembira. Kesedihan menyelimuti hariku. Ulang tahun terpahit yang pernah aku lalui. Kata bu guru, raporku kebakaran.Aku tinggal kelas! Oh alangkah bodohnya diriku. Apa kata papa nanti? Pasti beliau kecewa lagi. Ingin aku bicara dengan papa dan menjelaskan duduk perkaranya. Kutunggu papa didepan pintu hingga penghujung senja. Beliu tak muncul. Sampai malam papa tak jua datang.
Namun, kali ini tak lagi aku gembira. Kesedihan menyelimuti hariku. Ulang tahun terpahit yang pernah aku lalui. Kata bu guru, raporku kebakaran.Aku tinggal kelas! Oh alangkah bodohnya diriku. Apa kata papa nanti? Pasti beliau kecewa lagi. Ingin aku bicara dengan papa dan menjelaskan duduk perkaranya. Kutunggu papa didepan pintu hingga penghujung senja. Beliu tak muncul. Sampai malam papa tak jua datang.
Tengah malam bagai mimpi buruk aku tersentak mendengar suara bariton lelaki yang kucintai. Dia berteriak-teriak sambil mengemasi pakaiannya, dan kulihat mama menangis di sudut kamar setelah mereka bertengkar hebat. Dengan tangis terisak kusaksikan papa melesat hilang ditelan malam. Papa meninggalkanku, meninggalkan adik-adik, meninggalkan mama. Betapa jerinya hatiku. Papa pergi! Tak kujumpai lagi papa sejak malam itu. Aku rasa dibuang.
Putri kecil hapus laramu. Hidup terkadang pahit, tapi kamu bisa membuatnya manis dengan lirih do’a yang kau untai dalam sujudmu. Sebelum tidur, jangan lupa selipkan mimpimu di bawah bantal, karena ibu peri masih setia mengirimkannya ke langit. Hingga Tuhan menjadikannya nyata.
0 comments:
Post a Comment