Akhirnya dia menemukan bidadarinya. Pendamping hidup yang akan mememani hari-harinya ke depan. Ibu dari anak-anaknya nanti. Bahkan bidadari itu mungkin cinta sejatinya, yang tak pernah ia temukan pada perempuan manapun, termasuk aku. Meskipun dia pernah berikrar mengenai cintanya, bukan berarti otomatis dia memilihku sebagai pendampingnya. Janji setia bukan jaminan untuk cinta sehidup semati, karena cinta bisa saja berpaling jika tak ada keteguhan hati dan pondasi yang kuat untuk saling mencintai.
Ditengah rasa bahagia karena akhirnya aku menemukan jejaknya di dunia maya, tiba-tiba ada sesuatu yang serasa meremas jantungku. Aku terkejut tidak percaya, bagai tersengat jutaan volt listrik, tubuhku menegang. Sama sekali tidak menyangka dia akan memperlakukanku seperti ini. Aku masih terbuai dengan kata-kata cinta yang kerap kali menggelitik gendang telingaku, meski tersirat, tentu saja aku dapat menangkap getarannya. Aku melambung sebelum dia tiba-tiba menghilang, melepaskan pegangan tangannya dariku. Dia meninggalkanku melayang-layang tak menentu, aku hilang arah. Namun aku mencoba untuk berbesar hati, barangkali dia meninggalkanku sejenak untuk mengumpulkan bekal yang cukup untuk memenukan kunci menuju hatiku. Dalam ketidakpastian aku masih menunggu.
Kini penantianku kandas, tak perlu lagi aku berjalan di awang-awang, mereka-reka sesuatu yang tidak jelas. Dia mengakhiri penderitaanku dengan racun yang menyakitkan. Tak lagi membiarkan menggelantung dalam harapan. Dia mengakhirinya dengan menghempaskanku ke batu karang yang dibangunnya. Aku koyak. Aku remuk redam! Tak perlu penjelasan, foto pernikahannya telah banyak berbicara. Serasa sebilah pisau mencabik-cabik hatiku, menorehkan perih tak terperi.
Terjawab sudah pertanyaan yang muncul di benakku selama ini. Kenapa dia menghilang begitu saja dari hidupku. Tak ada kabar berita. Ternyata ada cinta yang lain di sana. Cinta yang lebih menjanjikan, cinta yang kasat mata. Tidak seperti cinta yang kusuguhkan. Cintaku abu-abu. Seperti kabut menjelang hujan, buram tanpa kejelasan, tidak hitam bukan pula putih. Semburatnya memercik antara ada dan tiada.
Padahal dalam tiap detik waktu yang kuuntai, tak sedikitpun aku melupakannya, justru rasa rindu yang makin menyeruak dalam lorong hati. Bagai disiram hujan di awal kemarau, aku bersemi tiap kali mendengar suaranya di telingaku. Kata-katanya melumerkan kebekuan. Dia hangat, meski jarak membentang, aku merasakan jiwanya memelukku. Seperti berada di tungku perapian di kala musim salju, kehangatannya mengalir di sekujur tubuhku. Apalagi senyumnya. Wajahnya memancarkan keteduhan. Hanya dengan membayangkan senyumannya, hatiku bagai menemukan oase setelah tertatih di jalan tandus dan kerontang. Namun itu sebelum dia memutuskan untuk benar-benar menghapus jejakku.
Aku tak pernah menjanjikan apapun. Meski jantungku berdegup kencang saat berada di dekatnya, meski aku membisu saat dia bicara, meski aku terbius oleh senyumnya, meski pipiku merona saat dia mencoba merayu. Selalu tak mampu aku mempersempbahkan cinta yang utuh padanya. Aku dikungkung dalam logika yang membuatku menahan rasa itu, bahkan hampir membunuhnya.
Ternyata tak cukup hanya cinta, agar tumbuh mekar, butuh perpaduan antara benak, akal, dan rasa. Aku wanita dengan sejuta pertimbangan. Prinsip hidup yang kupegang teguh, menghalangi bibit cintaku untuk tumbuh dan berkembang di hantinya. Bagaimana mau berbunga, untuk menumbuhkan benihnya saja, banyak halangan dari dalam diriku sendiri. Aku tidak bisa berdamai dengan diri sendiri, jiwaku meronta jika setiap bagian dalam hidupku berjalan di luar alur yang kuharapkan.
Seiring berjalan waktu, bara yang pernah menyala perlahan mulai padam. Firasatku berkata, dia memang bukan pasangan yang diciptakan untukku. Banyak halangan menerpa hubungan aku dan dia selama perjalanan yang pernah kami rajut. Selalu ada hal yang menarikku untuk jauh dari hidupnya. Aku menyadari hal itu, lantas perlahan aku memcoba membunuh rasaku untuknya. Sama halnya ketika dia mulai melenyapkan semua tentang diriku dari kehidupannya. Kitapun menjalani kehidupan masing-masing tanpa kehadiran satu sama lain. Berjalan sendiri-sendiri, menemukan seseorang yang tepat.
Setelah sekian lama berlalu untuk saling melupakan, akhirnya kudapati dirinya telah menemukan sosok seseorang yang tepat itu. Namun kenapa hatiku tidak bisa menerima ketika dia berhenti mengejarku untuk berpaling pada orang lain. Seharusnya dari dulu dia memberi penjelasan tentang semua keputusannya ini, agar aku berhenti bertanya-tanya tentang hatinya yang sangat sulit kujelajahi. Sampai saat ini aku masih menerka-nerka. Ternyata aku bukanlah orang yang penting dalam hidupnya, bahkan sebagai seorang teman atau saudara, seperti yang pernah diutarakannya. Memang tak pernah ada tempat bagiku.
Cemburu tak bisa mengusikku, tak ada alasan bagiku untuk mencemburui siapapun. Dalam keterkejutanku, hanya ada perasaan kecewa yang menelikung. Merambat jauh, mematikan semua kenangan yang pernah tercipta. Semenjak aku mengetahui dia menaruh perasaan suka padaku, selalu ada kekecewaan yang terselip di sana. Sepertinya itu adalah takdir yang digariskan sebagai pertanda aku dan dia tidak akan pernah hidup bersama. Hanya keihklasan yang dapat menjernihkan hatiku saat ini. Aku menghargai pilihannya, aku dan dia berhak atas pilihan masing-masing. Sebaris do’a ku panjatkan pada Allah, semoga kehidupannya selalu dilimpahi kebahagiaan. Aku rela jika dia memang bukan jodohku. Hanya Allah yang berhak menetapkan segala hal di semesta ini.
1 comments:
jd tringat seseorang :(
Post a Comment