Hampir empat tahun meninggalkan bangku SMA, aku sudah mulai melupakan materi yang dipelajari waktu sekolah dulu, padahal dulu aku lumayan menguasai pelajaran yang kuperoleh. Namun kini, ketika Anggun mengajakku diskusi tentang pelajaran sekolahnya aku lebih banyak menjawab “Entahlah”, “Lupa tuh”, “Enggak tahu”, “Eh, masa sih?”. Percuma dia bertanya padaku. Apa yang mau diajari? Hanya segelintir materi yang masih ku ingat, terselip di memori otakku yang tiap detik bertambah. Bahkan aku melupakan materi mata pelajaran favoritku. Di sini berlaku teori “ Lancar kaji karena di ulang”. Pepatah lama yang sering terlupakan, memang benar adanya.
Anggun tengah sibuk membahas soal-soal ujian SNMPTN. Kebetulan dia sedang mempelajari soal-soal Bahasa Indonesia.
“Kak, yang benar mana sih? Menyontek atau mencontek?” Tanya Anggun tiba-tiba.
Kontan aku menjawab,” Ya mencontek lah.”
“Tapi, kunci jawabannya bilang menyontek,” jawabnya bingung.
“Emang enggak dipelajari ya? Cuma kata dasar yang berawalan huruf K,T,S, dan P yang boleh lebur jika diberi awalan. Contek kan huruf awalnya C, enggak boleh dihilangin” jelasku sok tahu. Seingatku, dulu aku pernah mempelajarinya.
“Guruku bilang, kata dasarnya bukan contek tapi sontek, jadi menyontek dong.”
“Eh, masa sih? Mana ada kata sontek, yang ada mah contekan, bukan sontekan.”
“ Kayaknya guruku benar deh, secara udah bertahun-tahun dia ngajar Bahasa Indonesia, enggak mungkin salah.”
Karena masih penasaran dengan pernyataan Anggun tadi, aku pun membuka KBBI. Benar, tidak ada kata contek di sana, yang ada malah sontek. Menurut KBBI kata sontek memili dua arti, yaitu: 1) Son.tek v menyontek; me.nyontek v (menggocoh (dgn sentuhan ringan); mencungkil (bola dsb) dengan ujung kaki: untunglah penjaga gawang itu dapat menyontek bola sehingga gawangnya selamat. 2) Son.tek v menyontek; me.nyontek v mengutip (tulisan dsb) sebagaimana aslinya; menjiplak: krn malas. belajar, setiap ujian ia selalu menyontek. son.tek.an n hasil menyontek; bahan (tulisan) yg disontek.
PLETAKK! Selama tiga belas tahun aku mengecap mata pelajaran Bahasa Indonesia, baru sekarang aku tahu tentang ini, atau aku yang sudah melupakan apa yang diterangkan guruku dulu. Entahlah, mungkin aku mengidap amnesia. Sepertinya masih banyak yang luput dari pantauanku dan banyak hal yang tidak dapat kuingat lagi. Aku merasa seperti katak dalam tempurung.
Kembali ke masalah sontek tadi. Kata contek yang dianggap lumrah dalam bahasa sehari-hari ternyata kata bakunya adalah sontek. Dari penjelasan KBBI tersebut, jelaslah bagi kita, kata sontek ternyata memiliki dua makna yakni menggocoh atau mencungkil (seperti bola) dan makna menjiplak.
Selama ini banyak terjadi kesalahan pemakaian kata yang merujuk kepada makna menjiplak yaitu memakai kata contek. Kesalahan menentukan kata dari sontek menjadi contek akan menimbulkan kesalahan berikutnya yaitu ketika kata tersebut mendapat awalan meN-. Bila kita memakai kata contek maka akan menjadi men.contek (karena fonem c tidak mengalami peluluhan). Apabila kita memakai lema sontek maka akan menjadi me.nyontek karena fonem s mengalami peleburan).
Maka, ketika kita melihat adanya persaingan pemakaian kata contek dan sontek di masyarakat, kita harus mengembalikan kepada kata yang sudah dibakukan dan sesuai dengan rujukan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bahwa kata yang dianjurkan adalah sontek, bukan contek. Namun dalam bahasa sehari-hari kerap menggunakan kata tidak baku, orang-orang akan paham saat kita menyebut contekan bukan sontekan.
Sepertinya aku harus mempelajarinya kembali, setidaknya mengkaji ulang pelajaran yang ku dapat dulu agar tidak bener-benar hilang di kepalaku. Apalagi untuk sesuatu yang aku suka. Bahasa Indonesia merupakan salah satu mata pelajaran favoritku, tidak jarang aku meraih nilai tinggi pada pelajaran ini. Walaupun terkadang aku belajar ogah-ogahan, karena dari dulu guru yang mengajar mata pelajaran ini banyak yang enggak asyik, sehingga menjadikan pelajaran bahasa Indonesia terlihat membosankan dan tidak menarik. Untungnya dari kecil aku sudah jatuh cinta pada sastra dan bahasa Indonesia, jadi bagaimanapun guru menyampaikannya, tetap memesona bagiku.
Namun belakangan ini banyak sekali pelajar yang tidak mencintai estetika bahasa Indonesia. Melihat fenomena anak alay yang menjangkit kalangan pelajar saat ini, membuatku miris. Mereka menciptakan bahasa gaul yang sangat menyalahi aturan dalam berbahasa. Kita boleh saja menggunakan bahasa slank dalam percakapan sehari-hari maupun dituangkan dalam bentuk tulisan, namun segala sesuatu harus dilakukan pas menggunakannya, jika dilakukan berlebihan akan merusah keindahan bahasa itu sendiri.
A:N4nt1 50re ud 4d4 4cr4 g4?
B : Gk, ‘loM 4d4, knp?
A : M0 Nnt0n sm W 94k?
B : Bwleh, y03ks.. :-))
Waduh apaan nih? Tulisan ini sama sekali bukan kode bahasa rahasia intelijen. Tapi sekadar gaya bahasa tulis yang sedang populer di kalangan anak muda sekarang ini. Gaya bahasa ini mudah di jumpai di SMS yang ada di handphone mereka, atau pada status dan wall Facebook anak-anak muda.
Aku sering merasa sebal jika menemukan tulisan semaca ini, malah pusing membacanya. Aku tak punya banyak waktu untuk mengartikan kata-kata aneh ini, mending baca yang lain aja dari pada mataku juling menerjemahkan kata-kata enggak jelas seperti itu.
Persoalannya, tidak ada kaidah tetap untuk bahasa-bahasa ini. Satu-satunya aturan adalah justru ketidakaturan itu sendiri. Angka dijadikan huruf, pemakaian huruf kapitas sembarangan, tanda baca enggak jelas juntrungannya. Jangan dibahas apa rumusnya “gue” bisa menjadi: gw, W, atau malah G saja. Belum lagi untuk menyatakan ekspresi, kemungkinannya semakin tidak terbatas. Contohnya untuk tertawa, jika Anda hanya mengenal hehehe… atau he3x, sekarang ada wkwkwk, xixixi, haghaghag, dan sebagainya. Jangan bayangkan pula bagaimana ini mau diucapkan secara lisan, karena untunglah ini hanya bahasa tulis.
Awal mula kemunculan bahasa rumit ini tak lepas dari perkembangan SMS atau layanan pesan singkat. Namanya pesan singkat, maka menulisnya jadi serba singkat, agar pesan yang panjang bisa terkirim hanya dengan sekali SMS. Selain itu juga agar tidak terlalu lama mengetik dengan tombol handphone yang terbatas. Awalnya memang hanya serba menyingkat. Kemudian huruf-huruf mulai diganti dengan angka, atau diganti dengan huruf lain yang jika dibaca kurang lebih menghasilkan bunyi yang mirip.
Belakangan, bukannya disingkat malah dilebih-lebihkan, seperti “dulu” menjadi “duluw”. Ketika jejaring sosial lewat internet datang sebagai media baru yang mewabah, budaya menulis pesan singkat ini terbawa dan makin hidup di situ. Lambat laun ini menjadi semacam sub budaya dalam cara berkomunikasi anak muda yang kemudian disebut sebagai Anak Alay.
Ada sumber yang menyebutkan, alay ini berasal dari singkatan “anak layangan”, yang punya asosiasi pada anak muda tukang kelayapan, atau anak kampung yang berlagak mengikuti tren fashion dan musik. Ada lagi yag sekadar merujuk pada anak muda yang demi mendapatkan pengakuan di tengah lingkungan pergaulan akan melakukan apa saja, dari meniru gaya pakaian, gaya berfoto dengan muka yang sangat dibuat-buat, hingga cara menulis yang dibuat “sok” kreatif dan rumit seperti di atas.
Ada sumber yang menyebutkan, alay ini berasal dari singkatan “anak layangan”, yang punya asosiasi pada anak muda tukang kelayapan, atau anak kampung yang berlagak mengikuti tren fashion dan musik. Ada lagi yag sekadar merujuk pada anak muda yang demi mendapatkan pengakuan di tengah lingkungan pergaulan akan melakukan apa saja, dari meniru gaya pakaian, gaya berfoto dengan muka yang sangat dibuat-buat, hingga cara menulis yang dibuat “sok” kreatif dan rumit seperti di atas.
Fenomena bahasa alay itu sendiri mengingatkan pada fenomena bahasa gaul yang hampir selalu ada pada setiap generasi anak muda. Bahasa-bahasa gaul yang tidak serta merta hilang terkubur dibawa peralihan generasi. Seperti “bokap” atau “nyokap”, jejak bahasa prokem yang masih sering didengar dalam bahasa percakapan saat ini.
Bahasa slank hanya berlaku untuk kurun waktu tertentu saja, dan tidak memiliki kedalaman makna seperti halnya bahasa mapan. Jadi kenapa kita harus menciptakan bahasa yang rumit, jika nenek moyang kita sudah mewariskan keindahan makna bahasa Indonesia, bahasa abadi yang dapat dimengerti semua kalangan.
0 comments:
Post a Comment