There was a man A lonely man
Who lost his love
Through his indifference
A heart that cared
That went unshared
Until it died
Within his silence
and solitaire’s the only game in town
And every road that takes him
Takes him down
And by himself it’s easy to pretend
He’ll never love again
and keeping to himself
He plays the game
Without her love
It always ends the same
While life goes on around him everywhere
He’s playing solitaire
A little hope
Goes up in smoke
Just how it goes
Goes without saying
There was a man
A lonely man
Who would command
The hand he’s playing
( The Carpenters – Solitaire )
Menurut kamus OXFORD, solitary berarti melakukan sesuatu sendirian tanpa orang lain. Solitary juga dikaitkan dengan menikmati kesendirian, tentang seberapa sering seseorang menghabiskan waktu sendirian. Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, soliter bermakna secara menyendiri atau sepasang-sepasang, tidak secara kelompok.
Kadang aku merasa nyaman dengan kesendirian yang sering aku jalani dalam keseharian. Sepertinya aku megidap penyakit penyendiri ini. Disaat menyendiri aku menemukan ketenangan batin, kedamaian jiwa, dan kejernihan pikiran. Aku merasa nyaman saat tak seorang pun mengganggu aktivitasku, aku bebas melakukan apa saja tanpa harus mempedulikan apa kata orang. Aku betul-betul menikmatinya. Duduk di tepi pantai, membaca novel di kamar atau sekedar nongkrong sendirian di sebuah kafe sederhana.
Berteman dengan diri sendiri bisa membuatku lebih mengerti tentang apa yang benar-benar aku inginkan. Hanya aku yang paling mengerti diriku sendiri, tidak orang lain. Seperi kata Benyamin Franklin, “ Originalitas ada dalam diri tiap individu karena tiap orang berbeda dari orang lainnya. Kita adalah bilangan prima, yang hanya bisa terbagi oleh diri kita sendiri”. Tak ada yang lebih mengerti apapun tentang kita selain kita pribadi, jadi berdamai dengan diri sendiri itu sangat penting, siapa lagi yang bisa menerina kita apa adanya? Diri sendiri bisa memerima kita seutuhnya, bahkan sisi buruk yang kita miliki.
Aku tak pernah canggung ketika harus melakukan apapun tanpa orang lain, malah aku menikmati saat menghabiskan waktu sendirian. Ketika jenuh bersosialisasi dan bosan dengan hingar bingar bersama-sama orang lain, aku memilih untuk mengucilkan diri. Aku akan betah mengurung diri berjam-jam di kamar. Sibuk dengan aktivitas menonton film, membaca novel, menulis, browsing internet, tidur, dan aku akan ke luar kamar hanya ketika perutku lapar. Mencari makan di luar, lagi-lagi sendiri, kemudiana aku akan tenggelam lagi dalam aktivitas menyendiriku. Jika persediaan makananku banyak, aku rela mendekam di kamar seharian, mungkin orang-orang mengira aku sudah mati membusuk di dalam sana.
Meskipun aku menikmati peran sebagai penyendiri, namun aku bukan tipe orang yang antisosialisasi. Aku punya banyak teman, dan aku suka berhubungan dengan orang-orang. Kadang aku begitu ingin bersosialisasi dengan lebih banyak orang lagi. Mengenal beragam karakter manusia. Aku adalah orang yang selalu haus akan kehadiran teman di sampingku. Tidak salah pernyataan Plato bahwa manusia adalah zoon politicon, makhluk sosial yang hidup bermasyarakat, tidak ada individu yang bisa hidup sendiri. Kita membutuhkan orang lain untuk menunjang kehidupan kita, begitu juga aku yang tak pernah lepas dari ketergantungan akan orang lain.
Hanya saja, begitu aku menghabiskan waktu begaul dengan banyak orang, berkumpul bersama teman-teman, timbul perasaan bosan yang kerap mendera. Aku tak pernah membenci orang sekitar, aku juga tak memampik kehadiran mereka membawa kebahagiaan dalam hidupku. Aku sangat menikmatinya, apalagi berada di tengah orang-orang yang membuatku merasa nyaman. Namun perasaan untuk menghabiskan waktu sendirian itu muncul. Saat aku merasa aktivitas yang ku jalani mulai membosankan, aku butuh waktu untuk bermanja-manja dengan diri sendiri. Jika keadaan seperti ini, mulai deh aku menarik diri, dan kembali bergaya soliter.
Aktivitas di dunia maya juga sama, aku salah orang yang menggandrungi teknologi ini, bahkan termasuk orang yang latah dalam teknologi virtual. Aku mempunyai akun hampir di semua jejaring sosial, namun hanya aktif di beberapa saja. Chatting dan berkenalan dengan orang-orang baru dari berbagai belahan dunia juga menjadi kegemaranku. Namun ketika kejenuhan mulai melanda, aku akan mengabaikannya. Menarik diri dari dunia maya dan mengacuhkan teman-teman virtualku, bahkan aku akan lupa meng-update Facebook dan Twitter, hingga akun-akun ini terbengkalai tak terurus sampai aku kembali dari persemedianku di dunia soliter.
Banyak macam caraku untuk mengabiskan waktu sendiri. Kadang benar-benar akut. Berhari-hari di dalam kamar, menonton film dan membaca buku sambil ditemani alunan musik kesukaanku. Selebihnya keluar hanya untuk makan dan shalat. Atau duduk sendirian di tepi pantai mencium bau asin air laut, menatap matahari tenggelam, dan menikmati pemandangan senja. Kadang aku mengitari pasar loak mencari buku-buku bekas, atau nongkrong berjam-jam di toko buku sekedar berburu novel-novel bagus, bahkan sekedar numpang baca, karena aku tak punya cukup uang untuk membeli buku-buku itu. Numpung gratis, aku puas-puasin aja membaca disana, meskipun setelah itu kaki dijamin pegal karena terlalu lama berdiri.
Salah satu pojok yang aku suka adalah perpustakaan, di sana aku akan larut di tengah tumpukan buku. Lari pagi setelah subuh, berenang, olahraga ke tempat fitness, belanja di mall, jalan mengitari pasar raya Padang, aku tak pernah jengah melakukannya sendirian. Menghabiskan sebagian malam di atap rumah sembari menikmati langit malam, menatap bulan dan bintang. Ah, aku suka.
Salah satu pojok yang aku suka adalah perpustakaan, di sana aku akan larut di tengah tumpukan buku. Lari pagi setelah subuh, berenang, olahraga ke tempat fitness, belanja di mall, jalan mengitari pasar raya Padang, aku tak pernah jengah melakukannya sendirian. Menghabiskan sebagian malam di atap rumah sembari menikmati langit malam, menatap bulan dan bintang. Ah, aku suka.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan sifat soliter ini jika kita bisa mnegndalikannya dengan baik. Menurut seorang psikolog Anindita Budhi T.,S. Psi pada dasarnya, setiap orang memiliki sifat soliter. “There is no maturity without silence.” Justru dalam kesendirian itulah kita jadi punya waktu untuk berkenalan dengan diri sendiri, menyapa dan ngobrol dengan diri sendiri.
Ketika kita ‘sendiri’, kita berdialog dengan diri kita, membicarakan banyak hal dengan diri kita sendiri, apa saja, tanpa perlu diketahui orang lain. Ini proses refleksi diri, merenungi banyak hal tentang diri. Apa yang telah kita alami selama satu hari kita renungkan, kemudian kita evaluasi. Proses inilah yang membantu kita menemukan kedewasaan dalam diri kita.
Kesendirian ini bisa juga disebut me time, waktu untuk diri sendiri. Semua orang membutuhkan privasi! Apalagi untuk seorang perempuan muda menuju kedewasaan dan kematangan, me time adalah waktu yang paling tepat untuk menyelami diri sendiri, membuat rencana pendidikan dan karir, tentang percintaan, juga perencanaan keuangan. Justru dari kesendirianlah kita siap menghadapi dunia nyata. Deal with yourself before you deal with others! Ketika kita siap dan mantap dengan diri sendiri, artinya kita juga siap nyemplung ke dunia nyata untuk menjawab berbagai tantangan.
Mengutip pernyataan psikolog Ratih Ibrahim, orang yang kurang soliter berarti ia sangat membutuhkan orang lain. Ia tidak nyaman lama-lama sendirian. Sementara orang yang sangat soliter malah bisa menjadi gangguan. Ini disebabkan oleh ia tidak melakukan kontak apapun dengan orang lain, sehingga hanya berfokus pada dirinya sendiri, dan cenderung datar. Jadi, porsi soliter itu pun harus pas.
Jadi, soliter itu bukan sesuatu yang harus dihilangkan atau dikurangi. Namun, dikelola, diatur supaya kesendirian itu jadi bermakna bagi hidup kita, sehingga kita tahu kapan kita perlu menyendiri sejenak, dan kapan kita harus berinteraksi dengan orang lain.
Setiap individu itu memang sendiri, tetapi kita juga membutuhkan kehadiran orang lain. Manusia adalah makhluk sosial. Kita bisa tumbuh dengan sendirinya, tapi karena kita berinteraksi dengan orang lain kita jadi berkembang. Keduanya saling mengisi dan pasti membuat hidup kita jadi lebih berwarna kan?
0 comments:
Post a Comment