Sebelum Berkemas

Sehabis ashar, kuhabiskan waktu yang tersisa untuk menikmati segala pemandangan indah yang telah tersimpan selama bertahun-tahun di memoriku. Tidak lama lagi akan segera kutinggalkan kampung halaman, sebuah dusun tempat aku mengahabiskan masa kanak-kanak hingga umurku hampir seperempat abad. Seperti yang dilakukan kebanyakan orang,  merantau adalah pilihan hidup yang menggiurkan untuk memperbaiki nasib. Begitu juga aku, setamat mengecap bangku kuliah, kuputuskan untuk mengadu peruntungan di ibu kota. Tekadku semenjak masih berseragam putih merah, merasakan hidup di kota besar. 

Petang itu aku terduduk gontai di atap rumah, tempat favoritku untuk menyendiri. Dari sana aku bisa memandangi keindahan alam dan memantau aktivitas orang-orang dari kejauhan. Sesekali kupejamkan mata sembari menghirup udara sejuk pegunungan.  Kuresapi bulir-bulir oksigen yang yang masuk ke rongga hidung kemudian mengalir memenuhi paru-paru. Kuhirup udara itu dengan brutal, sampai paru-paruku sesak. Mengingat  di kota besar nanti, barangkali tak senikmat ini rasanya bernafas.
Kulayangkan pandangan ke arah barat, tampak gunung Singgalang berdiri kokoh menantang langit dengan matahari senja mengendap di belakangnya. Kupuas-puaskan kedua korneaku menatap puncaknya yang menghijau, tak tampak lagi kawah, semuanya sudah melumut, sebab telah ratusan tahun lampau gunung ini mati.  Diantara semburat hijau, relief guratan vertikal berwarna putih mencoret lereng.  Air terjun dari telaga Dewi di puncak Singgalang, akan terlihat deras jika hujan lebat tiba. Disanalah aku dulu menjelajah dengan teman masa kecil, memanjat gunung, menerobos hutan, dan mandi di air terjun bertingkat.  Sampai kini dengungan pinus masih terngiang-ngiang di telingaku.  Masih dapat kudengar nyanyian rimba raya dan marga satwa yang yang merambat bersama angin gunung.
Gunung Merapi tak kalah gagah di seberang, asap mengepul di atasnya. Sesekali gunung ini batuk mengeluarkan abu vulkanik. Aku selalu berdo’a agar gunung Merapi ini tidak mengamuk seperti saudaranya di seberang pulau, jika itu terjadi mungkin kampungku yang indah permai hanya tinggal cerita, karena lahar tidak pernah memilih apa yang akan dilalapnya. Puncaknya tandus, seperti gurun pasir yang diselingi kawah-kawah berapi. Puncak Merpati, begitu orang-orang menyebutnya. Aku lupa entah tahun baru keberapa aku terakhir kali meninggalkan jejak disana. Yang membuatku rindu adalah taman edelwis, sempat kupetik beberapa tangkai bunga abadi itu, kupajang di sudut kamar dalam vas tercantik yang kupunya. Tidak lupa kuselipkan setangkai di dalam dompet. Sampai kini bunga-bunga itu masih setia menghiasai kamarku, keindahannya terus terpancar, tidak layu seperti bunga-bunga lain.
Adzan magrib pun sayup-sayup berkumandang, langit memerah, matahari kembali ke peraduannya. Dan akupun harus segera berkemas.

0 comments:

Post a Comment

2011/05/23

Sebelum Berkemas

Sehabis ashar, kuhabiskan waktu yang tersisa untuk menikmati segala pemandangan indah yang telah tersimpan selama bertahun-tahun di memoriku. Tidak lama lagi akan segera kutinggalkan kampung halaman, sebuah dusun tempat aku mengahabiskan masa kanak-kanak hingga umurku hampir seperempat abad. Seperti yang dilakukan kebanyakan orang,  merantau adalah pilihan hidup yang menggiurkan untuk memperbaiki nasib. Begitu juga aku, setamat mengecap bangku kuliah, kuputuskan untuk mengadu peruntungan di ibu kota. Tekadku semenjak masih berseragam putih merah, merasakan hidup di kota besar. 

Petang itu aku terduduk gontai di atap rumah, tempat favoritku untuk menyendiri. Dari sana aku bisa memandangi keindahan alam dan memantau aktivitas orang-orang dari kejauhan. Sesekali kupejamkan mata sembari menghirup udara sejuk pegunungan.  Kuresapi bulir-bulir oksigen yang yang masuk ke rongga hidung kemudian mengalir memenuhi paru-paru. Kuhirup udara itu dengan brutal, sampai paru-paruku sesak. Mengingat  di kota besar nanti, barangkali tak senikmat ini rasanya bernafas.
Kulayangkan pandangan ke arah barat, tampak gunung Singgalang berdiri kokoh menantang langit dengan matahari senja mengendap di belakangnya. Kupuas-puaskan kedua korneaku menatap puncaknya yang menghijau, tak tampak lagi kawah, semuanya sudah melumut, sebab telah ratusan tahun lampau gunung ini mati.  Diantara semburat hijau, relief guratan vertikal berwarna putih mencoret lereng.  Air terjun dari telaga Dewi di puncak Singgalang, akan terlihat deras jika hujan lebat tiba. Disanalah aku dulu menjelajah dengan teman masa kecil, memanjat gunung, menerobos hutan, dan mandi di air terjun bertingkat.  Sampai kini dengungan pinus masih terngiang-ngiang di telingaku.  Masih dapat kudengar nyanyian rimba raya dan marga satwa yang yang merambat bersama angin gunung.
Gunung Merapi tak kalah gagah di seberang, asap mengepul di atasnya. Sesekali gunung ini batuk mengeluarkan abu vulkanik. Aku selalu berdo’a agar gunung Merapi ini tidak mengamuk seperti saudaranya di seberang pulau, jika itu terjadi mungkin kampungku yang indah permai hanya tinggal cerita, karena lahar tidak pernah memilih apa yang akan dilalapnya. Puncaknya tandus, seperti gurun pasir yang diselingi kawah-kawah berapi. Puncak Merpati, begitu orang-orang menyebutnya. Aku lupa entah tahun baru keberapa aku terakhir kali meninggalkan jejak disana. Yang membuatku rindu adalah taman edelwis, sempat kupetik beberapa tangkai bunga abadi itu, kupajang di sudut kamar dalam vas tercantik yang kupunya. Tidak lupa kuselipkan setangkai di dalam dompet. Sampai kini bunga-bunga itu masih setia menghiasai kamarku, keindahannya terus terpancar, tidak layu seperti bunga-bunga lain.
Adzan magrib pun sayup-sayup berkumandang, langit memerah, matahari kembali ke peraduannya. Dan akupun harus segera berkemas.

0 komentar:

Post a Comment

Copyright @ Miscellaneous Thoughts | Floral Day theme designed by SimplyWP | Bloggerized by GirlyBlogger | Distributed by: best blogger template personal best blogger magazine theme | cheapest vpn for mac cheap vpn with open ports