Entah kenapa telingaku selalu gatal ketika mendengar teman sebelah kamar kosku ber papi mami dengan pacarnya. Sering aku terkikik saat mendengar mereka bicara layaknya sepasang suami istri.
“Mi! Mami, Papi tunggu di luar ya!,” teriak sang cowok dari depan pagar. “ Iya pi bentar, mami lagi siap-siap nih,” sahut sang cewek dari kamar kosnya.
Percakapan seperti ini hampir tiap hari ku dengar di kawasan kosan. Yuyu, teman sekamarku, langsung memutar kedua bola matanya setiap kali mendengar si cowok berteriak-teriak menanggil ceweknya dengan sebutan mami.
“ Apaan sih mereka, baru pacaran aja udah panggil Papi mami, enggak banget deh,” ujar Yuyu.
“Iya, lebay tu orang, kayak udah merit aja,” aku memimpali.
“Kalau aku, gak bakal sudi manggil pacarku Papi, gak pantas,”
Bagiku panggilan papi-mami, papa-mama, ayah-bunda, dan sebutan lainnya, adalah sebuah panggilan sakral yang hanya boleh dipakai oleh orang-orang yang telah terikat pernikahan. Seorang suami layak memanggil istrinya Bunda, karena sudah jelas bahwa sang istri adalah ibu bagi anak-anaknya. Begitu juga sebaliknya, istri pantas memanggil suaminya Ayah, sebab dari benih sang suaminya lah anak-anak mereka hadir. Meskipun keduanya tidak memiliki anak, tetap saja berhak menyandang istilah ini, karena mereka telah menjadi suatu keluarga.
Nah, bagi mereka yang belum menikah alias pacaran tidak wajar memanggil pasangannya dengan panggilan ini. Walaupun hubungan mereka sudah serius, bahkan yang sudah hampir mamasuki jenjang pernikahan sekalipun. Mereka belum pantas menyandang predikat itu. Pacaran tidak sama dengan pernikahan. Pernikahan mengikat suami istri dalam berhagai hak dan kewajiban yang menobatkan mereka sebagai Ayah dan Ibu. Sedangkan pacaran tidak memiliki hak dan kewajiban itu. Mereka hanya terikat dalam suatu hubungan yang berlandaskan emosi. Tidak terikat apapaun kecuali hati dan komitmen masing-masing sebagai pasangan kekasih.
Mungkin mereka merasa lebih menjiwai perannya sebagai pasangan kekasih dengan berpura-pura menjadi suami istri. Seolah-olah mereka menjadi Ayah dan Ibu dalam sebuah keluarga yang nantinya kan mereka bina. Jadi mereka mengganggap gak ada salahnya menanggil pasangan dengan istilah itu. Toh nantinya mereka juga akan mennyandang label ini, jika telah menikah. Bukankah hubungan pacaran akan bermuara pada pernikahan. Jadi sah-sah aja memakai panggilan itu.
Tapi memurutku tidak seperti itu. Pacaran merupakan proses pengenalan pribadi masing-masing. Hubungan yang terbentuk atas dasar saling mencintai dan keinginan untuk saling memiliki. Pacaran memiliki batas yang menghalangi orang-orang untuk bertindak layaknya pasangan yang telah menikah. Walaupun telah berikrar dan merasa saling memiliki, tetap saja hal itu belum berlaku seutuhnya. Karena kepemilikan atas pasangan terjadi ketika mereka berada dalam ikatan pernikahan.
Termasuk dalam hal panggilan terhadap pasangan. Panggilan Ayah dan Ibu, pantas jika seseorang benar-benar berhak dipanggil demikian. Padahal banyak panggilan sayang yang lebih romantis daripada itu. Lebih tepat rasanya memanggil pacar dengan panggilan “Sayang”, “Baby”, “ Honey” , “Sweetheart”, atau apalah selain “Papi-Mami dkk”. Karena istilah-istilah tersebut merupakan hal universal yang memang ditujukan untuk menyebut orang yang kita sayang. Tak terbatas. Siapapun boleh memakainya. Berbeda dengan label “Papi-Mami”. Terdapat makna tersirat dalam istilah ini. Sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan dan keluarga menyangkut posisi mereka sebagai Ayah dan Ibu.
Kadar cinta dan dalamnya perasaan kepada pasangan memang bukan dinilai dari bagaimana cara kita menyebut pasangan dengan embel-embel panggilan sayang. Dia tidak dapat dijadikan sebagai indikator perasaan seseorang. Namun setidaknya, panggilan itu dapat mewakilkan perasaan kita. Dengan panggilan sayang, pasangan kita tahu bahwa kita memang menyayanginya. Seseorang merasa lebih disayangi ketika mereka dipanggil dengan panggilan sayang, ketimbang dipanggil dengan nama mereka sendiri. Tidak salah jika panggilan sayang dijadikan bumbu untuk memambah kemesraan dalam suatu hubungan percintaan. Tapi segala sesuatu harus diletakkan pada tempatnya. Agar makna yang terkandung tidak terkikis karena digunakan tanpa aturan.
“Mi! Mami, Papi tunggu di luar ya!,” teriak sang cowok dari depan pagar. “ Iya pi bentar, mami lagi siap-siap nih,” sahut sang cewek dari kamar kosnya.
Percakapan seperti ini hampir tiap hari ku dengar di kawasan kosan. Yuyu, teman sekamarku, langsung memutar kedua bola matanya setiap kali mendengar si cowok berteriak-teriak menanggil ceweknya dengan sebutan mami.
“ Apaan sih mereka, baru pacaran aja udah panggil Papi mami, enggak banget deh,” ujar Yuyu.
“Iya, lebay tu orang, kayak udah merit aja,” aku memimpali.
“Kalau aku, gak bakal sudi manggil pacarku Papi, gak pantas,”
Bagiku panggilan papi-mami, papa-mama, ayah-bunda, dan sebutan lainnya, adalah sebuah panggilan sakral yang hanya boleh dipakai oleh orang-orang yang telah terikat pernikahan. Seorang suami layak memanggil istrinya Bunda, karena sudah jelas bahwa sang istri adalah ibu bagi anak-anaknya. Begitu juga sebaliknya, istri pantas memanggil suaminya Ayah, sebab dari benih sang suaminya lah anak-anak mereka hadir. Meskipun keduanya tidak memiliki anak, tetap saja berhak menyandang istilah ini, karena mereka telah menjadi suatu keluarga.
Nah, bagi mereka yang belum menikah alias pacaran tidak wajar memanggil pasangannya dengan panggilan ini. Walaupun hubungan mereka sudah serius, bahkan yang sudah hampir mamasuki jenjang pernikahan sekalipun. Mereka belum pantas menyandang predikat itu. Pacaran tidak sama dengan pernikahan. Pernikahan mengikat suami istri dalam berhagai hak dan kewajiban yang menobatkan mereka sebagai Ayah dan Ibu. Sedangkan pacaran tidak memiliki hak dan kewajiban itu. Mereka hanya terikat dalam suatu hubungan yang berlandaskan emosi. Tidak terikat apapaun kecuali hati dan komitmen masing-masing sebagai pasangan kekasih.
Mungkin mereka merasa lebih menjiwai perannya sebagai pasangan kekasih dengan berpura-pura menjadi suami istri. Seolah-olah mereka menjadi Ayah dan Ibu dalam sebuah keluarga yang nantinya kan mereka bina. Jadi mereka mengganggap gak ada salahnya menanggil pasangan dengan istilah itu. Toh nantinya mereka juga akan mennyandang label ini, jika telah menikah. Bukankah hubungan pacaran akan bermuara pada pernikahan. Jadi sah-sah aja memakai panggilan itu.
Tapi memurutku tidak seperti itu. Pacaran merupakan proses pengenalan pribadi masing-masing. Hubungan yang terbentuk atas dasar saling mencintai dan keinginan untuk saling memiliki. Pacaran memiliki batas yang menghalangi orang-orang untuk bertindak layaknya pasangan yang telah menikah. Walaupun telah berikrar dan merasa saling memiliki, tetap saja hal itu belum berlaku seutuhnya. Karena kepemilikan atas pasangan terjadi ketika mereka berada dalam ikatan pernikahan.
Termasuk dalam hal panggilan terhadap pasangan. Panggilan Ayah dan Ibu, pantas jika seseorang benar-benar berhak dipanggil demikian. Padahal banyak panggilan sayang yang lebih romantis daripada itu. Lebih tepat rasanya memanggil pacar dengan panggilan “Sayang”, “Baby”, “ Honey” , “Sweetheart”, atau apalah selain “Papi-Mami dkk”. Karena istilah-istilah tersebut merupakan hal universal yang memang ditujukan untuk menyebut orang yang kita sayang. Tak terbatas. Siapapun boleh memakainya. Berbeda dengan label “Papi-Mami”. Terdapat makna tersirat dalam istilah ini. Sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan dan keluarga menyangkut posisi mereka sebagai Ayah dan Ibu.
Kadar cinta dan dalamnya perasaan kepada pasangan memang bukan dinilai dari bagaimana cara kita menyebut pasangan dengan embel-embel panggilan sayang. Dia tidak dapat dijadikan sebagai indikator perasaan seseorang. Namun setidaknya, panggilan itu dapat mewakilkan perasaan kita. Dengan panggilan sayang, pasangan kita tahu bahwa kita memang menyayanginya. Seseorang merasa lebih disayangi ketika mereka dipanggil dengan panggilan sayang, ketimbang dipanggil dengan nama mereka sendiri. Tidak salah jika panggilan sayang dijadikan bumbu untuk memambah kemesraan dalam suatu hubungan percintaan. Tapi segala sesuatu harus diletakkan pada tempatnya. Agar makna yang terkandung tidak terkikis karena digunakan tanpa aturan.
0 comments:
Post a Comment