
Betapa beruntungnya aku memiliki sosok ayah seperti diriny, figur kepala keluarga sejati ku temukan dalam diri ayahku. Beliau berjuang mati-matian untuk memenuhi kebutuhan keluarga, tak peduli panas terik membakar punggungnya, tak peduli rasa letih menghujam raga. Yang terlintas dalam pikirannya bagaimana menafkahi keluaraga agar kami dapat menikmati hidup. Setiap hari dia bekerja banting tulang, asal perut kami kenyang. Segala upaya di kerahkan agar kami bisa sekolah dan semua kebutuhan-kebutuhan kami terpenuhi. Tanggung jawabnya sebagai seorang Ayah tak pernah terabaikan. Terkadang dia jatuh sakit, mungkin karena raga itu tak mampu lagi menanggung beban yang terlalu berat.
“ Tuntutlah ilmu setinggi-tingginya Nak, selagi mampu Ayah akan selalu berusaha menyekolahkanmu. Kita tidak punya harta, hanya ilmu sebagai warisan paling berharga yang Ayah titipkan padamu,” ungkap Ayahku suatu ketika. Kata-kata itu pembangkit semangatku menggapai impian, memotivasiku di kala rasa lelah dam malas menghampiri. Mungkin keberhasilanku nanti adalah obat penawar letih bagi Ayahku Walaupun setiap tetesan keringatnya takkan mampu terbayar oleh kesuksesan dan kebahagiaanku, paling tidak harapannya tercapai dan kerelaannya selama ini tidak sia-sia. Karena ku tahu, bagaimanpun caranya aku takkan pernah mampu membayar setiap pengorbanannya, dan sampai kapanpun jasa-jasanya takkan sanggup aku balas.
Seiring berjalannya waktu, kini raga itu mulai dimakan usia. Garis-garis kerutan mulai terlukis di wajah gagahnya, namun senyuman itu menyiratkan ketampanan yang masih tersisa. Kelelahan terpancar di sana, tapi tak pernah sekalipun Ayah mengeluhkannya. Rambutpun satu persatu terlihat memutih, menandakan kehidupan yang bermetafosa. Punggung yang dulu tempat ku bergelayut manja, masih terlihat kokoh, walaupun tidak setegap dulu. Pundak yang selalu mengangkatku masih kuat meski tidak mampu lagi menyangga beban yang terlalu berat. Aku selalu ingat masa kanak-kanakku, setiap hari aku bergelantungan di pangkuan Ayah. Memang saat kecil aku sangat dekat dan dimanja oleh Ayahku, mungkin karena aku anak pertama dan ibuku sibuk mengurusi adik-adikku. Aku selalu merengerek untuk selalu berada di dekatnya, selalu mengikuti kemanapun ia pergi. Ayah selalu memenuhi kebutuhanku, menyuapiku di saat aku lapar, memandikanku setiap pagi dan sore, dan memenaniku bermain. Aku tak pernah lupa ketika tangan kasarnya mengusap punggungku saat aku sakit, dan memepuk-nepuknya untuk menidurkanku. Betapa indahnya kenangan masa kecilku, andai waktu dapat berputar kembali, aku ingin ke masa itu lagi menikmati setiap keceriaan bersama ayahku.
Tak terasa kini aku bukan gadis kecilmu lagi Ayah, aku sudah mulai menapaki kedewasaan. Walaupun aku masih hidup bergantung pada ayah, namun aku tak mungkin bermanja-manja lagi, hidup menuntutku menjadi seorang yang mandiri. Di saat berada jauh, aku selalu merindukannya. Aku rindu mendengar seruannya mengingatkanku untuk menunaikan shalat, menyuruhku segera makan, dan nasehat-nasehat beliau lainnya. Walaupun dia bukan seseorang yang suka bicara, tapi aku rindu setiap kata-katanya. Tak sekalipun kata-kata kasar dan bentakan keluar dari mulutnya, aku sudah lupa kapan terakhirkali aku dimarahi, karena dia hanya diam ketika menunjukkan ekspresi kemarahannya. Ayahku cenderung pendiam, tak banyak kata-kata terlontar dari mulutnya, tapi itulah yang aku kagumi darinya, dia lebih banyak berbuat dari pada bicara.
Aku selalu bersyukur terlahir sebagai seorang puteri dari ayah seperti beliau, karena banyak orang di luar sana orang-orang yang tidak bisa merasakan kasih sayang dari seorang ayah. Aku tidak bisa membayangkan jika hal itu terjadi menimpaku, aku tidak sanggup jika harus kehilangan dirinya, aku tak mampu hidup tanpa naungan kasih sayang ayahku. Pernah suatu ketika beliau jatuh sakit, dan harus dirawat untuk sementara waktu di rumah sakit. Menyaksikan beliau terbaring lemah dengan selang infuse ditangannya membuat hatiku terenyuh. Ayah yang selama ini selalu bugar dimataku, harus tergeletak tak berdaya di ranjang rumah sakit, menahan penyakit yang dideritanya. Perasaanku benar-benar tidak karuan kala itu, pikiran-pikiran negative datang menyelimutiku. Aku sangat takut jika Tuhan mengambil beliau dari sisiku, sungguh aku belum rela kehilangannya dari hidupku. Namun Tuhan Maha Mendengar, Dia menjawab semua do’aku untuk kesembuhan dan kesehatan ayah, betapa leganya aku melihat ayah kembali seperti sedia kala.
Aku ingin selalu dapat membahagiakan beliau, walau apapun yang ku lakukan tidak akan setimpal dengan apa yang telah diberikannya padaku, setidaknya aku bisa menjadi anak yang berbakti, mematuhi nasehat-nasehatnya, dan menjadi seperti apa yang diinginkannya. Aku akn selalu berusaha agar perjuangan beliau tidak sia-sia, karena sauatu saat nanti aku ingin mendengar ayah mengatakan betapa bangganya dia memiliki puteri sepertiku.
1 comments:
I Love my daddy
Post a Comment